Selasa, 09 September 2014

Demi Keadilan & Kemanusiaan, Bebaskan Anyun & Singkul

Penangkapan paksa disertai tindak kekerasan yang dilakukan anggota BRIMOB Polda Kalimantan Barat terhadap lima warga Batu Daya pada 5 Mei 2014 lalu, yang berawal dari kejadian yang berakhir bentrok warga vs aparat, saat warga mendatangi Camp PT. Swadaya Mukti Prakarsa (SMP)/PT. First Resources pada 26 Oktober 2013 silam menagih haknya, dimana dua warga yakni Anyun dan Yohanes Singkul hingga saat ini masih mendekam dalam tahanan menjadi keprihatinan bersama. Dua warga kampung Keranji yang dipersalahkan telah melakukan tindak penganiayaan dan membawa senjata tajam dipaksa harus berurusan dengan proses pengadilan yang berawal pada 2 Juli 2014. Pada sisi lain, saat kejadian penangkapan paksa, kaum ibu dan anak-anak yang menyaksikan langsung proses penangkapan mengalami trauma, ketakutan. Sementara ketika dua warga ditahan sejak 6 Mei 2014 hingga saat ini, keluarga korban secara otomatis terpisah dari orang yang menjadi tulang punggung mereka.

Pada sidang  1 September 2014, JPU membacakan tuntutan terhadap kedua warga Batu Daya, Anyun dan Yohanes Singkul tersebut masing-masing didakwa atas tuduhan tindak penganiayaan dan membawa senjata tajam dengan tuntutan pidana sebagaimana dibacakan JPU selama 10 bulan penjara. Keduanya didakwa pelanggaran Pasal 351 KUHP & Pasal 2 UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Selanjutnya pada Senin, 8 September 2014 bertempat di PN Pontianak, Kuasa Hukum warga (Gerakan Bantuan Hukum Rakyat Kalimantan) menyampaikan Pledoi (Pembelaan) atas kedua korban.

Merespon kasus hukum yang dialami oleh kedua warga Batu Daya ini, bagi kami adalah ujian serius untuk Pengadilan Negeri Pontianak menjawab kritikan publik atas implementasi hukum di negeri ini yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Untuk itu, para hakim dalam kasus ini dituntut mengedepankan rasa keadilan dan mempertimbangkan aspek social dan kemanusiaan dalam memutuskan kasus ini yang rencananya akan disampaikan besok, Rabu 10 September 2014. Hakim diharapkan tidak hanya menjadi corong konstitusi semata,  mereka dituntut memahami berbagai bentuk konflik sumber daya alam yang melibatkan masyarakat dengan korporasi, lebih khusus lagi para hakim diwajibkan memahami aspek sosial budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam komunitas masyarakat di Kalimantan Barat, terutama Masyarakat Adat Dayak” ungkap Anton P. Widjaya, Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Barat.

Anton menambahkan bahwa dua warga Batu Daya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang yang kini menjalani proses hukum dan mendekam dalam bui merupakan korban atas alpanya niat baik perusahaan mengakomodir hak-hak masyarakat yang selama ini mereka perjuangkan. “Karenanya, demi keadilan dan kemanusiaan, kami menyerukan agar Anyun dan Yohanes Singkul dibebaskan,” tambah Anton.

Dalam kasus ini, nuansa motif kriminalisasi terlihat sejak awal, terlebih dengan adanya keterlibatan pihak perusahaan. Penangkapan warga dengan tuduhan penganiayaan karena salah satu dari anggota BRIMOB yang juga ketua regu terlempar benda keras saat aksi damai warga hanyalah dampak, bukan persoalan dasar. Demikian pula tuduhan karena membawa senjata tajam pada saat kejadian bentrok antar warga dengan anggota kepolisian sebagaimana yang dialami Yohanes Singkul,” tambah Agus Sutomo, Direktur Link-AR Borneo.

Lebih lanjut, Tomo menambahkan bahwa pada saat kejadian sesungguhnya baik anggota BRIMOB  maupun warga, sama-sama menjadi pihak korban. “Karena sebagaimana diketahui, salah seorang warga yang juga kepala desa Batu Daya pada saat kejadian, disekap dan dipukuli pihak satpam perusahaan dan anggota BRIMOB hingga babak belur dan bahkan pingsan dengan luka di bagian kepala,” jelasnya.

Sesungguhnya akar persoalan sebenarnya adalah tidak adanya niat baik untuk pemenuhan hak masyarakat dengan janji-janji yang tak kunjung dipenuhi oleh pihak perusahaan sehingga menyebabkan warga Batu Daya untuk kesekian kalinya kembali mendatangi Camp perusahaan pada 26 Oktober 2013 silam. Karena ada perlawanan untuk menghalang-halangi warga yang berniat memasuki wilayah Camp oleh aparat yang berjaga ditambah suara tembakan peringatan, maka kejadian bentrok tidak terhindarkan.

Jadi atas kesaksian Sahrudin, oknum anggota brimob yang menjadi korban pelemparan yang mengatakan tidak mengetahui adanya tembakan peringatan pada sidang 6 Agustus 2014 lalu tidak masuk akal, karena berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya terjadi di lapangan (Video kejadian). Lebih tidak masuk akal lagi bila benda keras yang mengenainya berdasarkan keterangan saksi pihak pelapor hanyalah serpihan dari bongkahan besar semata. Bila melihat kontruksi kehadiran anggota BRIMOB hingga terjadi bentrok antar warga dari kesaksian pihak pelapor yakni anggota BRIMOB dan perwakilan pihak perusahaan beberapa waktu lalu, maka jelas ada unsur konspirasi untuk melakukan kriminalisasi terhadap warga.

“Karena itu, kami menunggu majelis hakim yang menangani kasus ini membuat keputusan yang adil dan berkualitas, berlandaskan kepada kondisi objektif Masyarakat Adat Dayak dan pemahaman akan adat budaya yang berkembang di tengah masyarakat serta memposisikan perjuangan masyarakat dalam mempertahankan hak atas tanah warisan leluhur dan nenek moyang mereka  sebagai pertimbangan utama keputusan,” tambah Anton.

Hal sama disampaikan Penanggungjawab Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak, Bruder Stephanus Paiman. “Saya harap majelis hakim harus bijak dalam memutus perkara ini, mereka harus melihat sisi budaya masyarakat setempat, misalnya soal sajam di kampung atau daerah pedalaman, tidak bisa langsung memasukanya dalam UU darurat,” tegasnya.

Bruder Stephanus Paiman juga menyampaikan harus dihadirkan juga ahli budaya atau daerah setempat. “Misalnya untuk kampung saya di Benua Bantanan, orang kampung biasa membawa parang atau senapang lantak atau bomen untuk pergi ke ladang, karena parang digunakan untuk memotong kayu dan senapan untuk mengusir hama seperti seperti babi hutan dan monyet. Begitu juga di daerah pedalaman lain di Kalbar seperti Kapuas Hulu, Ketapang dan sebagainya. Oleh karna itu sekali lagi saya ingatkan bahwa untuk lebih netralnya putusan, majelis harus melibatkan pakar budaya setempat,” imbuhnya.

Penting kiranya direfleksikan dalam kasus ini, bagaimana seandainya yang berada pada posisi warga yang menjadi korban adalah para anggota majelis hakim??? Untuk selanjutnya, tentu tindak kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan haknya tidak boleh terjadi lagi. Sudah saatnya, pemerintah melakukan evaluasi terhadap investasi dan mempertegas keperpihakannya terhadap keselamatan rakyat maupun lingkungan hidup.

Senin, 07 Juli 2014

Aksi bersama Masyarakat Sipil Kalimantan Barat 5 Juli: Serukan ‘Dekrit’ untuk Keselamatan Rakyat & Ekosistem Indonesia

SEMBILAN Juli 2014 mendatang, segenap warga di nusantara akan memiilih Presiden dan Wakil Presiden. Agenda lima tahunan ini kembali menyita perhatian publik. Visi maupun misi dari dua pasang Calon telah dan terus dibeberkan kepada masyarakat luas melalui berbagai kesempatan. Singkatnya, negeri kita saat ini sedang mencari dan menanti pemimpin baru untuk lima tahun ke depan.

Kampanye santun hingga dengan bentuk maupaun caranya yang “memuakkan” menuntut kesadaran penuh masyarakat luas agar tidak gampang terprovokasi maupun menelan mentah bentuk informasi dan janji-janji kampanye yang disampaikan. Demikian pula tayangan stasiun televisi penting dilihat secara kritis. Pada situasi ini, rakyat tentu penting dididik agar tidak gampang tersulut emosi apalagi sampai melakukan tindakan anarkis – beringas agar kedamaian dapat diraih. Peran dan panutan kandidat, kaum elitis bersama para pendukung menghadirkan sikap damai & sportif dengan mengedepankan etika politik santun yang bermartabat menjadi sangat penting. Demikian pula negara melalui sejumlah institusinya, juga pihak penyelenggara Pemilu, diharapkan dapat menempatkan diri sebagai penjaga aturan main terpercaya dalam memastikan penyelenggaraan pemilihan Presiden & Wakil Presiden agar berjalan baik.

Lebih penting dari hiruk pikuk yang ada, maka Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat yang terdiri dari sejumlah elemen CSO, organisasi mahasiswa dan komunitas memandang bahwa meletakkan kepentingan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup sebagai pusat perhatian serius dari capaian akhir dari proses Pemilu Presiden & Wakil Presiden 9 Juli penting sungguh menjadi perhatian serius.

“Pentingnya keselamatan rakyat dan lingkungan hidup mendapat perhatian serius karena hakikat proses demokrasi yang sedang berlangsung khususnya melalui Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bermuara pada kepentingan rakyat. Untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Maka di orientasi kepentingan keselamatan manusia dan lingkungannya harus ditempatkan pada posisi yang semestinya,” jelas Hendrikus Adam,” Koordinator Aksi.

Karenanya untuk menyampaikan hal tersebut, Sabtu (5/7) mendatang akan digelar aksi solidaritas bersama masyarakat sipil menyampaikan dekrit Rakyat Kalimantan Barat untuk keselamatan rakyat dan ekosistem Indonesia. Aksi independen tersebut akan menyampaikan delapan poin mandat yang merupakan dekrit rakyat untuk pemimpin Indonesia pasca 9 Juli.

Menurut Hendrikus Adam, kegiatan ini dipusatkan di kawasan Bundaran Untan mulai pukul 15.00 WIB yang akan dirangkai dengan sejumlah kegiatan kampanye penyelamatan lingkungan hidup dengan orasi, pembentangan spanduk 30 meter dan poster, pembagian selebaran, teaterikal dan akan diakhiri dengan buka puasa bersama.

“Peristiwa bencana dan kerusakan lingkungan hidup, konflik agraria, ketidakadilan dan kemanusiaan yang berakar dari persoalan struktural bukan menjadi rahasia lagi bagi masyarakat luas selama ini. Di Kalimantan Barat misalnya, bencana Banjir di Menjalin yang menewaskan 3 warga awal Desember 2013, Kabut asap pada Februari 2014, kriminalisasi dan tindak penganiayaan oleh aparat terhadap warga Batu Daya di Ketapang, Kalimantan Barat adalah bagian dari persoalan serius yang ada di depan mata akhir-akhir ini” terang Adam.

Adam menambahkan, tindak kekerasan dan intimidasi yang juga dialami petani desa Tegaldowo, Kabupaten Rembang, Jateng yang menolak penambangan Karst dan pembangunan pabrik semen PT. Semen Indonesia guna mempertahankan tempat menggantungkan hidupnya dari tanah dan air di pegunungan Kendeng. Demikian pula kekerasan aparat terhadap kaum tani di Kabupaten Karawang, Jawa Barat yang mempertahankan 350 hektar lahannya dari tindakan eksekusi pengadilan yang memenangkan PT. Sumber Air Mas Pratama – anak perusahaan PT. Agung Podomoro dalam sengketa tanah dengan ratusan petani pemilik lahan. Demikian juga dengan bencana lumpur Lapindo, yang hingga saat ini belum pernah terselesaikan oleh pemerintah rezim saat ini.

“Melalui aksi bersama yang akan dilakukan 5 Juli mendatang, melalui kampanye akbar bersama ini kami berharap agar Pemimpin Indonesia kedepan sungguh memihak dan memiliki komitmen serius memastikan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup. Sebagai bagian dari rakyat, kita berharap tidak ada lagi bencana ekologis yang terus terulang di Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat. Tidak ada lagi tindak kekerasan oleh aparat. Kita berharap negara sungguh hadir sebagai benteng hak asasi manusia,” pungkas Adam.

Peristiwa ketidakadilan dalam tatakelola sumberdaya alam yang menyebabkan lahirnya konflik agraria dimana rakyat pemilik wilayah kelola selanjutnya menjadi korban tentu bukan hal baru. WALHI Kalbar mencatat sedikitnya 465 kasus dan kejadian terkait persoalan lingkungan hidup di Kalimantan Barat dalam rentang waktu 2008, 2011 hingga Juni 2013.

Di Indonesia berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), selama 2013 terdapat 369 kasus agraria yang melibatkan 1.281.660.09 hektar (Ha) lahan dan 139.874 Kepala Keluarga (KK). Konflik tersebut berasal dari berbagai yakni perkebunan sebanyak 180 konflik (48,78%), pembangunan infrastruktur 105 konflik (28,46%), pertambangan 38 konflik (10,3%), kehutanan 31 konflik (8,4%), pesisir/kelautan 9 konflik (2,44%) dan lain-lain 6 konflik (1,63%). Sedangkan catatan HuMa di tahun 2013 terjadi 278 konflik sumber daya alam dan agraria yang berlangsung di 98 kota/kabupaten pada 23 provinsi Indonesia dengan luas area konflik mencapai 2. 416.035 hektar, termasuk di Kalimantan Barat. Adapun pelaku dominan dalam konflik tersebut meliputi; Taman Nasional/Kementrian Kehutanan, Perhutani, PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Perusahaan atau Korporasi, Perusahaan Daerah, dan Instansi lain (TNI). Seringnya tindak kekerasan menempatkan entitas negara sebagai pelanggaran HAM terbesar dengan frekuensi keterlibatan 54%, kemudian institusi bisnis sebanyak 36% dan individual berpengaruh sebanyak 10%.

Selanjutnya berdasarkan tinjauan LH tahun 2014, WALHI mencatat bencana ekologis pada tahun 2013 mengalami lonjakan yang sangat tajam. Jika pada tahun 2012 banjir dan longsor hanya terjadi 475 kali dengan korban jiwa 125 orang, pada 2013 secara kumulatif menjadi 1392 kali atau setara 293 persen. Bencana tersebut telah melanda 6727 desa/kelurahan yang tersebar 2787 kecamatan, 419 kabupaten/kota dan 34 propinsi dan menimbulkan korban jiwa sebesar 565 orang. Di Kalimantan Barat, banjir terparah yang hingga menyebabkan tiga korban jiwa terjadi pada awal Desember 2013 di kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak.

Masih berdasarkan catatan WALHI, sepanjang tahun 2013, korporasi menempati angka tertinggi sebagai aktor/pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup, dengan prosentase 82,5%. Selama kurun waktu 2013 ini, sedikitnya ada 52 perusahaan yang menjadi pelaku berbagai konflik lingkungan, sumber daya alam dan agraria. Angka-angka ini menunjukkan bahwa industri ekstrakif seperti tambang dan perkebunan sawit skala besar merupakan predator puncak ekologis. Kekerasan dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan dan agraria mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2012, ada 147 peristiwa kekerasan dan kriminalisasi dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam, maka tahun 2013 angka ini naik menjadi 227 kasus konflik lingkungan dan SDA.

Selamatkan Rakyat, selamatkan Ekosistem Kalimantan

BEBERAPA hari ke depan, (9/7/2014) warga Indonesia akan memiilih Presiden dan Wakil Presiden untuk masa bhakti 2014 – 2019 . Agenda lima tahunan ini kembali menyita perhatian publik. Visi maupun misi dari dua pasang telah dan terus dibeberkan kepada masyarakat luas melalui berbagai kesempatan.

Pada situasi seperti ini, rakyat penting dididik agar tidak gampang tersulut emosi apalagi sampai melakukan tindakan anarkis – beringas, agar suasana damai dapat diraih. Peran dan panutan kandidat, kaum elitis bersama para pendukung menghadirkan sikap damai & sportif dengan mengedepankan etika politik santun yang bermartabat menjadi sangat penting. Demikian pula negara melalui sejumlah institusinya, juga pihak penyelenggara Pemilu, diharapkan dapat sungguh menjadi penjaga aturan penyelenggaraan prose Pemilu iden & Wakil Presiden agar berjalan baik.

Lebih penting dari hiruk pikuk yang ada, maka Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat dari 40 organisasi terdiri atas sejumlah elemen CSO, organisasi mahasiswa dan komunitas memandang bahwa meletakkan kepentingan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup sebagai pusat perhatian serius dari capaian akhir dari proses Pemilu Presiden & Wakil Presiden 9 Juli penting sungguh menjadi perhatian serius.

“Keselamatan rakyat dan lingkungan hidup harus mendapat perhatian serius karena hak ikat proses demokrasi yang sedang berlangsung khususnya melalui Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sesungguhnya bermuara pada kepentingan rakyat. Untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Maka orientasi kepentingan keselamatan manusia dan lingkungannya penting menjadi perhatian serius Presiden mendatang, ”jelas Hendrikus Adam, koordinator aksi.

Kegiatan yang dirangkai dengan sejumlah kegiatan kampanye penyelamatan lingkungan hidup melalui orasi, pembentangan dan penandatangan spanduk 30 meter, poster, pembagian selebaran, aksi teaterikal dan akan diakhiri dengan buka puasa bersama di Bundaran Untan, Pontianak.

“Peristiwa bencana dan kerusakan lingkungan hidup, konflik agraria, ketidakadilan dan kemanusiaan yang berakar dari persoalan struktural bukan menjadi rahasia lagi bagi masyarakat luas selama ini.

Di Kalimantan Barat misalnya, bencana Banjir di Menjalin yang menewaskan 3 warga awal Desember 2013, Kabut asap pada Februari 2014, kriminalisasi dan tindak penganiayaan oleh aparat terhadap warga Batu Daya di Ketapang, Kalimantan Barat adalah bagian dari persoalan serius yang ada di depan mata akhir - akhir ini” tambah Adam.

Adam menambahkan, tindak kekerasan dan intimidasi yang juga dialami petani desa Tegaldowo, Kabupaten Rembang, Jateng yang menolak penambangan Karst dan pembangunan pabrik semen PT. Semen Indonesia guna mempertahankan tempat menggantungkan hidupnya dari tanah dan air di pegunungan Kendeng. Demikian pula kekerasan aparat terhadap kaum tani di Kabupaten Karawang, Jawa Barat yang mempertahankan 350 hektar lahannya dari tindakan eksekusi pengadilan yang memenangkan PT. Sumber Air Mas Pratama – anak perusahaan PT. Agung Podomoro dalam sengketa tanah dengan ratusan petani pemilik lahan. Demikian juga dengan bencana lumpur Lapindo, yang hingga saat ini belum pernah terselesaikan oleh pemerintah rezim saat ini.

“Melalui aksi akbar bersama ini, kami berharap agar Pemimpin Indonesia kedepan sungguh memihak dan memiliki komitmen serius memastikan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup. Sebagai bagian dari rakyat, kita berharap tidak ada lagi bencana ekologis yang terus terulang di Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat. Tidak ada lagi tindak kekerasan oleh aparat. Kita berharap negara sungguh hadir sebagai benteng hak asasi manusia,” tambah, Ahmad Asmungin, Humas aksi.

Asmungin menambahkan bahwa peristiwa ketidakadilan dalam tatakelola sumberdaya alam yang menyebabkan lahirnya konflik agraria dimana rakyat pemilik wilayah kelola selanjutnya menjadi korban tentu bukan hal baru. “Kami berharap negara sungguh menjamin penghormatan, perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi warga Indonesia, ”tambah Asmungin.

Dalam aksi ini, gerakan lingkungan hidup Kalimantan Barat yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil menegaskan tuntutan kepada Presiden terpilih 2014 untuk menyelamatkan rakyat dan lingkungan hidup. Berikut merupakan sejumlah tuntutan yang disampaikan;

(1) Negara sungguh – sungguh menjamin penghormatan, perlindungan, penegakkan dan pemajuan hak asasi warga negara Indonesia,

(2) Tidak menempatkan aparat sebagai alat kepentingan pemodal yang melakukan tindakan represif kepada rakyat untuk mempertahankan hak hidupnya,

(3) Lebih mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan korporasi atas dasar keadilan dan kemanusiaan dengan memastikan penataan ulang relasi negara, modal & Rakyat,

(4) Menyediakan ruang hidup yang seluas - luasnya kepada rakyat Indonesia serta memelihara keberlanjutan Lingkungan Hidup,






(5) Mengesahkan RUU Pengakuan & Perlindungan Hak – hak Masyarakat Adat,
 
(6) Menyelesaikan konflik Agraria & Lingkungan Hidup secara tuntas dengan mengedepankan rasa keadilan dan kemanusiaan,

(7) Memulihkan kerusakan ekologis sebagai akibat kebijakan industri ekstraktif berbasis hutan dan lahan yang eksploitatif,

(8) Menghentikan usaha kehutanan, pertambangan dan perkebunan yang merusak, mengabaikan daya dukung lingkungan dan tidak membela kepentingan rakyat, 

(9) Mewujudkan pemenuhan dan perbaikan infrastruktur yang memihak kepentingan rakyat Indonesia dan lingkungan hidup secara berkeadilan khususnya di Kalimantan Barat.


Anton P. Widjaya, Direktur WALHI Kalimantan Barat meminta Presiden mendatang memastikan keberpihakan dalam penyelamatan rakyat dan lingkungan hidup dengan sungguh memperhatikan tuntutan yang disampaikan. “Di Kalbar kami mencatat sedikitnya 465 kasus dan kejadian terkait persoalan lingkungan hidup dalam rentang waktu 2008, 2011 hingga Juni 2013, ” tambahnya.

Anton menambahkan berdasarkan tinjauan WALHI LH tahun 2014 di Indonesia, mencatat bencana ekologis pada tahun 2013 mengalami lonjakan yang sangat tajam. Jika pada tahun 2012 banjir dan longsor hanya terjadi 475 kali dengan korban jiwa 125 orang, pada 2013 secara kumulatif menjadi 1392 kali atau setara 293 persen. Bencana tersebut telah melanda 6.727 desa/keluarah yang tersebar 2787 kecamatan, 419 kabupaten/kota dan 34 propinsi dan menimbulkan korban jiwa sebanyak 565 orang.

“Di Kalimantan Barat, banjir terparah yang hingga menyebabkan tiga korban jiwa terjadi pada awal Desember 2013 di kecamatan Menjalin, Kalimantan Barat ” terang Anton.

Anton menambahkan massifnya izin bagi korporasi industri ekstraktif di Kalimantan Barat memperlihatkan ketimpangan luar biasa atas pemanfaatan sumber daya alam. Dalam hal ini luasan ijin tidak sebanding dengan luasan wilayah kelola masyarakat yang pada akhirnya juga berpotensi melahirkan pelanggaran & perampasan tanah yang begitu nyata terus terjadi.

“Kian kecilnya ruang hidup dan semakin luasnya eksploitasi berdampak pada kerusakan lingkungan yang kemudian jelas melanggar penghormatan dan perlindungan serta menghambat pemenuhan Hak Asasi Manusia. Pada sisi yang lain, kebijakan pengembangan izin bagi korporasi penting dievaluasi serta dihentikan sembari melakukan audit maupun penyelesaian serta pemulihan atas persoalan agraria utamanya terkait keselamatan manusia dan lingkungan hidup, ” terang Anton.

Sebagaimana diketahui luas izin konsesi perusahaan masing - masing mencapai; 378 izin perkebunan kelapa sawit seluas 4.962,022 ha, 721 izin pertambangan dengan seluas 5.074,338 ha dan 76 IUPHHK seluas 3.611,721 ha dengan luas keseluruhan mencapai 13,648,081 ha.

Masih berdasarkan catatan WALHI, sepanjang tahun 2013, korporasi menempati angka tertinggi sebagai aktor/pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup, dengan prosentase 82,5%. Selama kurun waktu 2013 ini, sedikitnya ada 52 perusahaan yang menjadi pelaku berbagai konflik lingkungan, sumber daya alam dan agraria.

Angka - angka ini menunjukkan bahwa industri ekstrakif seperti tambang dan perkebunan sawit skala besar merupakan predator puncak ekologis. Kekerasan dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan dan agraria mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2012, ada 147 peristiwa kekerasan dan kriminalisasi dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam, maka tahun 2013 angka ini naik menjadi 227 kasus konflik lingkungan dan SDA.

Sedangkan berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), selama 2013 terdapat 369 kasus agraria yang melibatkan 1.281.660.09 hektar (Ha) lahan dan 139.874 Kepala Keluarga (KK). Konflik tersebut berasal dari berbagai yakni perkebunan sebanyak 180 konflik (48,78%), pembangunan infrastruktur 105 konflik (28,46%), pertambangan 38 konflik (10,3%), kehutanan 31 konflik (8,4%), pesisir/kelautan 9 konflik (2,44%) dan lain - lain 6 konflik (1,63%).

Selanjutnya catatan HuMa di tahun 2013 terjadi 278 konflik sumber daya alam dan agraria yang berlangsung di 98 kota/kabupaten pada 23 provinsi Indonesia dengan luas area konflik mencapai 2. 416.035 hektar, termasuk di Kalimantan Barat. Adapun pelaku dominan dalam konflik tersebut meliputi; Taman Nasional/Kementrian Kehutanan, Perhutani, PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Perusahaan atau Korporasi, Perusahaan Daerah, dan Instansi lain (TNI). Seringnya tindak kekerasan menempatkan entitas negara sebagai pelanggaran HAM terbesar dengan frekuensi keterlibatan 54%, kemudian institusi bisnis sebanyak 36% dan individual berpengaruh sebanyak 10%.

Senin, 30 Juni 2014

Mempetisi Kapolda Kalbar

Kasus yang menimpa dua orang warga Batu Daya yakni Yohanes Singkul dan Anyun yang mendekam dalam tahanan Mapolda Kalimantan Barat sejak 5 Mei 2014 lalu masih menyisakan keprihatinan. Hadirnya perusahaan kelapa sawit PT. Swadaya Mukti Prakarsa/PT. First Resources yang tidak memihak kepentingan warga menjadi faktor penting atas peristiwa ketidak-adilan yang dialami. Kasus ini selanjutnya bukan hanya mampu melukai rasa keadilan, juga rasa kemanusiaan yang memiriskan hati. Pengabaian hak warga oleh pihak perusahaan yang disertai tindak penangkapan paksa disertai cara kekerasan dan ancaman yang dilakukan aparat Kepolisian daerah Kalimantan Barat juga telah membuat warga trauma. Juga dialami anak-anak usia sekolah. Bahkan diantaranya ada yang mengalami demam. 

Peristiwa ketidakadilan dalam tatakelola sumberdaya alam yang menyebabkan lahirnya konflik agraria dimana rakyat lemah pemilik wilayah kelola selanjutnya menjadi korban tentu bukan hal baru. Karenanya, kasus Batu Daya, di Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang sudah seharusnya mendapat perhatian semua pihak termasuk pimpinan Kepolisian daerah Kalimantan Barat. Singkatnya telah terjadi tragedi kemanusiaan dan ketidakadilan yang menyebabkan peristiwa kriminalisasi atas dua warga Batu Daya. Pihak Kepolisian daerah Kalimantan Barat maupun pihak penegak hukum lainnya sedianya dapat memeberikan keadilan dengan MEMBEBASKAN kedua warga dimaksud. 

Melalui lembaran ini, kami telah menggalang dukungan untuk petisi yang dimulai sejak tanggal 25 Mei 2014. Hingga saat ini, Kamis, 12 Juni 2014 pukul 15.00 wiba sejumlah dukungan dari segenap warga Indonesia atas petisi kepada sejumlah pihak; (1) Kapolri, (2) Kapolda Kalimantan Barat, (3) Bupati Ketapang, (4) Komnas Hak Asasi Manusia, telah terkumpul. Adapun PETISI tersebut pada prinsipnya MEMINTA PEMBEBASAN atas Yohanes Singkul & Anyun, warga Desa Batu Daya, Kecamatan Simpang Dua, Ketapang, Kalimantan Barat. Secara lebih lengkap berikut poin petisi dimaksud; 

1. Dengan segala hormat, meminta Kapolda Kalimantan Barat untuk membebaskan Yohanes Singkul dan Anyun. Keduanya merupakan tulang punggung keluarga yang sedang dinanti di rumah, namun menjadi korban kriminalisasi atas hadirnya korporasi yang mengabaikan hak-hak komunitas. 

2. Mendesak institusi kepolisian sungguh-sungguh menjadi pengayom, pelindung dan pelayan rakyat yang professional. Serta tidak menjadi alat korporasi untuk melakukan tindakan refresif terhadap rakyat. 

3. Pulihkan rasa takut dan trauma yang dialami warga, serta meminta negara melalui lembaga komisioner (Komnas HAM) melakukan pengusutan terhadap; (1) tindak peristiwa penangkapan yang disertai tindak kekerasan yang menakibatkan warga ketakutan & trauma, (2) pengabaian hak-hak warga atas hadirnya perusahaan (PT. SMP/PT.FR) . 

4. Tarik aparat dari wilayah konsesi perusahaan dan wilayah Komunitas (Masyarakat Adat). 

5. Mendesak Pemerintah segera mencabut Izin PT. Swadaya Mukti Prakarsa (SMP)/PT. First Resources (FR). 

6. Memastikan adanya jaminan kebebasan berkumpul dan berpendapat bagi segenap warga sebagaimana amanat konstitusi serta jangan ada pembungkaman oleh siapapun dan kepada siapapun. 

7. Mendesak pihak Kepolisian mengusut tuntas raibnya tenda “Posko untuk Keadilan dan Kemanusiaan” dan meminta adanya keterbukaan kepada pihak yang membongkar tenda. 

Melalui kasus yang menimpa dua warga Batu Daya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat ini, diharapkan ada perhatian serius dari berbagai pihak utamanya pihak Kepolisian agar sungguh-sungguh dapat menjadi pelayan, pengayom dan pelindung rakyat yang profesional. Demikian halnya pemerintah untuk lebih mengedepankan kepentingan rakyat dan keberlanjutan lingkungan hidup dalam kebijakan pembangunan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan itu sendiri.

Selasa, 10 Juni 2014

Selamatkan Ekosistem Kalimantan untuk Keberlanjutan Kehidupan Rakyat!!!

Hak atas pembangunan yang memihak kepentingan rakyat utamanya Hak Atas Hidup merupakan hak universal yang melekat pada setiap manusia dan hal ini dengan sendirinya menjadi kewajiban asasi negara bersama seluruh komponennya untuk penghormatan, perlindungan maupun pemenuhannya.

Selanjutnya Resolusi PBB 1803 (XVII) 14 Desember 1962 juga menegaskan bahwa kedaulatan atas sumberdaya alam merupakan hak rakyat untuk dengan bebas mengatur kekayaan sumberdaya alam mereka. Hak atas lingkungan sebagai Hak Asasi mendapatkan pengakuan pada kesimpulan Sidang Komisi Tinggi HAM (April 2001), yang memandatkan bahwa “Setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan hidup”.

Dalam Konstitusi Negara Kita khususnya UUD 1945 pasal 28H ayat (1) menyatakan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal ini secara tegas juga disampaikan dalam UU 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup pasal 65 ayat (1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia, (2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Demikian juga dalam UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pasal 3 menyebutkan “Masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang lebih baik dan sehat”.

Begitu pentingnya lingkungan hidup untuk kebelanjutan kehidupan guna memastikan terpenuhinya hak hidup segala makhluk khususnya manusia. Namun demikian, kepastian pemenuhan hak atas lingkungan dalam perjalanannya mengalami persoalan ketika negara yang memiliki mandat melakukan kewajiban asasi justeru memberikan ruang bagi potensi terlanggarnya hak-hak warganya atas pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pelbagai regulasi seperti misalnya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur tentang perlindungan lingkungan. Namun sebagaimana diatur dan dinyatakan di dalam pelbagai regulasi tersebut, perlindungan lingkungan hidup dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia kerapkali tidak sejalan dengan praktek.

Fakta bahwa krisis dan masalah lingkungan hidup sejatinya tidak semata lahir karena sikap setiap individu yang tidak bersahabat terhadap lingkungannya, namun lebih dari itu permasalahan krusial lingkungan hidup berakar dari persoalan struktural. Kebijakan industri ekstraktif (Perkebunan, pertambangan, hutan tanaman dan sejenisnya dalam skala luas) terhadap sumber daya lingkungan berbasis hutan dan lahan disadari telah menyebabkan rusaknya ruang hidup masyarakat dan juga habitat bagi satwa yang dilindungi.
Hal ini berdampak langsung pada hak dalam berbagai bidang ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup. 

Kasus kriminalisasi disertai tindakan kekerasan aparat yang dialami warga Batu Daya 5 Mei 2014 lalu yang hingga kini masih mendekam dalam tanahan Polda Kalimantan Barat atas hadirnya korporasi (PT. Swadaya Mukti Prakarsa/PT. First Resources), krisis air dan krisis (lahan) pangan yang terjadi, konflik sumber daya agraria, bencana kabut asap yang terus terulang, diabaikannya hak-hak komunitas (Masyarakat Adat) atas hadirnya korporasi yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi telah melahirkan persoalan ketidakadilan dan kemanusiaan. Pada kondisi ini, akses maupun kontrol masyarakat atas ruang hidupnya yang sejak lama mengandalkan sumber daya lingkungannya mengalami persoalan serius. Kebijakan atas nama pembangunan berbasis hutan dan lahan tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan pada akhirnya merampas ruang hidup untuk keberlanjutan kehidupan manusia Kalimantan. Dampak rusaknya lingkungan hidup pada kahirnya berimbas pula pada masyarakat perkotaan, termasuk di Kota Pontianak.

Massifnya izin bagi korporasi (sektor industri ekstraktif) di Kalimantan Barat dengan luas izin konsesi masing-masing mencapai; 378 izin perkebunan kelapa sawit seluas 4.962,022 ha, 721 izin pertambangan dengan seluas 5.074,338 ha dan 76 IUPHHK seluas 3.611,721 ha dengan luas keseluruhan mencapai 13,648,081 ha memperlihatkan ketimpangan luar biasa atas pemanfaatan sumber daya alam. Dalam hal ini luasan ijin tidak sebanding dengan luasan wilayah kelola masyarakat yang pada akhirnya juga berpotensi melahirkan pelanggaran dan perampasan tanah yang begitu nyata terus terjadi. Semakin kecilnya ruang kelola dan semakin luasnya eksploitasi berdampak pada kerusakan lingkungan yang kemudian jelas melanggar penghormatan dan perlindungan serta menghambat pemenuhan Hak Asasi Manusia. Pada sisi yang lain, kebijakan pengembangan izin bagi korporasi penting dievaluasi serta dihentikan sembari melakukan audit maupun penyelesaian serta pemulihan atas persoalan agraria utamanya terkait kesleamatan manusia juga lingkungan hidup.

Melalui perayaan Hari Lingkungan 5 Juni dengan tema “Selamatkan Ekosistem Kalimantan untuk Keberlanjutan Kehidupan Rakyat”, maka Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat secara bersama-sama menyerukan agar:
1. Kembalikan mandat negara sebagai pengemban kewajiban dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.

2. Tata ulang relasi antara negara, modal dan rakyat.

3. Selesaikan konflik sumberdaya alam dan lingkungan hidup

4. Pulihkan keseimbangan ekologis dan perlindungan lingkungan hidup.

Kamis, 05 Juni 2014

PETISI untuk Pembebasan Warga Ketapang warga Korban Kriminalisasi

PETISI 
PAK KAPOLDA KALBAR, BEBASKAN YOHANES & ANYUN, 
WARGA KORBAN KRIMINALISASI HADIRNYA 
PERUSAHAAN PT. SWADAYA MUKTI PRAKARSA/PT. FIRST RESOURCES 


Kepada Yth.
1. Kapolri
2. Kapolda Kalimantan Barat
3. Bupati Ketapang
4. Komnas HAM

DEMI KEADILAN DAN KEMANUSIAAN, 

Penangkapan paksa yang disertai cara-cara kekerasan dan bahkan ancaman oleh aparat, Brimob Polda Kalimantan Barat terhadap lima warga Desa Batu Daya, Kecamatan Simpang Dua, Ketapang (Antonius Sintu, Yohanes Singkul, Puram Jorben Marinel, Anyun dan Bethlyawan) pada 5 Mei 2014 lalu masih belum berakhir. Dua dari lima warga yang ditangkap, yakni Yohanes Singkul dan Anyun masih mendekam di rumah tahanan Kepolisian Daerah Kalimantan Barat. Keduanya disangkakan melakukan tindak penganiayaan dan membawa senjata tajam saat terjadi insiden kericuhan di kantor perusahaan kelapa sawit PT. Swadaya Mukti Prakarsa (SMP)/PT. First Resources (FR) pada 26 Oktober 2013. Selain seorang brimob yang menjadi korban lemparan benda keras yang mengenai bagian kepalanya, seorang warga yang juga kepala Desa Batu Daya turut menjadi korban, beliau disekap dan dikeroyok hingga babak belur hingga akhirnya pingsan.

Kehadiran warga tanggal 26 Oktober 2013 silam di Camp perusahaan sesungguhnya ruang dimana warga Desa Batu Daya untuk kesekian kalinya mendatangi kantor perusahaan, bermaksud menemui pimpinan PT. SMP/PT. FR guna menanyakan kesungguhan dalam mengakomodir hak-hak komunitas, termasuk hak atas lahan plasma yang sejak 18 tahun silam tidak kunjung ada kejelasan. Hadirnya aparat Brimob Polda Kalimantan Barat sejak awal dan dengan gagahnya menembakkan senapan ke udara guna memberi peringatan, justeru memantik amarah massa yang hadir menagih komitmen perusahaan. Beberapa diantaranya ada yang mengacungkan dan bahkan mengokang senjata (pistol dan senapan laras panjang). Kondisi miris yang telah melukai rasa keadilan dan kemanusiaan ini penting segera diakhiri dengan solusi dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Singkatnya, hadirnya warga ke kantor perusahaan dikarenakan adanya masalah yang lahir karena ketidakberpihakan perusahaan terhadap hak-hak komunitas yang menyebabkan warga dan aparat kepolisian menjadi korban langsung dari peristiwa tersebut.

Namun demikian, peristiwa penangkapan yang dilakukan pada 5 Mei 2014 juga turut mengundang keprihatinan mendalam. Aparat negara yang harusnya menjadi pengayom, pelindung dan pelayan bagi rakyat telah berhasil mengusik rasa kemanusiaan. Tentu pantas dipertanyakan pula hadirnya pasukan Brimob Polda Kalimantan Barat yang melakukan penangkapan langsung, bahkan turut melibatkan pihak perusahaan. Tindak penangkapan paksa dengan cara-cara kekerasan dan bahkan ancaman terhadap warga tidak terhindarkan. Kaum ibu dan anak-anak usia sekolah yang menyaksikan langsung peristiwa tersebut merasa takut dan bahkan trauma. Dampaknya beberapa anak-anak di antaranya mengalami demam.

Terkait dengan peristiwa ketidakadilan yang dialami warga, “Posko untuk Keadilan dan Kemanusiaan” yang didirikan pada 14 Mei 2014 sebagai solidaritas bersama segenap elemen masyarakat sipil, warga, individu dan organisasi mahasiswa (Gerakan Masyarakat untuk Pembebasan warga Korban Kriminalisasi) terhadap warga korban kriminalisasi dibongkar oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Dan kini belum ada keterbukaan dari pihak yang membongkarnya. Kejadian ini menyisakan kesan adanya upaya pembungkaman atas kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat yang tentu tidak sejalan dengan semangat amanat konstitusi.

Berkaca dari kenyataan sebagaimana diuraikan di atas, maka demi keadilan dan kemanusiaan kami menyerukan:

1. Dengan segala hormat, meminta Kapolda Kalimantan Barat untuk membebaskan Yohanes Singkul dan Anyun. Keduanya merupakan tulang punggung keluarga yang sedang dinanti di rumah, namun menjadi korban kriminalisasi atas hadirnya korporasi yang mengabaikan hak-hak komunitas.
2. Mendesak institusi kepolisian sungguh-sungguh menjadi pengayom, pelindung dan pelayan rakyat yang professional. Serta tidak menjadi alat korporasi untuk melakukan tindakan refresif terhadap rakyat.
3. Pulihkan rasa takut dan trauma yang dialami warga, serta meminta negara melalui lembaga komisioner (Komnas HAM) melakukan pengusutan terhadap; (1) tindak peristiwa penangkapan yang disertai tindak kekerasan yang menakibatkan warga ketakutan & trauma, (2) pengabaian hak-hak warga atas hadirnya perusahaan (PT. SMP/PT.FR) .
4. Tarik aparat dari wilayah konsesi perusahaan dan wilayah Komunitas (Masyarakat Adat).
5. Mendesak Pemerintah segera mencabut Izin PT. Swadaya Mukti Prakarsa (SMP)/PT. First Resources (FR).
6. Memastikan adanya jaminan kebebasan berkumpul dan berpendapat bagi segenap warga sebagaimana amanat konstitusi serta jangan ada pembungkaman oleh siapapun dan kepada siapapun.
7. Mendesak pihak Kepolisian mengusut tuntas raibnya tenda “Pokso untuk Keadilan dan Kemanusiaan” dan meminta adanya keterbukaan kepada pihak yang membongkar tenda. Demikian petisi ini kami sampaikan untuk kepentingan tegaknya keadilan dan kemanusiaan dalam bingkai NKRI yang dicintai.

Pontianak, 25 Mei 2014

Sabtu, 31 Mei 2014

“Konsolidasi WALHI se-Kalimantan Menghadapi Pemerintahan Baru Mendatang”

Kalimantan dan Darurat Pengelolaan Lingkungan 

Kalimantan adalah nama bagian wilayah Indonesia di Pulau Borneo Besar yaitu pulau terbesar ketiga di dunia setelah Greenland dan Seluruh Pulau Irian diamana wilayah Kalimantan meliputi 73 % massa daratan pulau Borneo. Wilayah Kalimantan ini memiliki total luasan mencapai 549.032 km2 yang merupakan 28 % dari total daratan Indonesia. 

Luasan pulau Borneo yang begitu besar dengan kandungan sumberdaya alamnya yang melimpah seperti hutan, pertambangan, perairan dan energi menjadikan wilayah ini sasaran investasi industri ekstraktif untuk di keruk. Padahal sumberdaya bioregional Borneo ini adalah bagian‐bagian yang terdiri dari hutan pegunungan, daerah aliran sungai, rawa gambut, danau‐danau sampai pesisir pantai dan dasar laut adalah merupakan satu kesatuan ekosistem yang saling berkaitan dan menghubungkan antara kehidupan manusia dan sumberdaya alam serta sosio-cultural yang tidak bisa terpisahkan. 

Masuknya investasi yang didukung oleh kebijakan yang kapitalistik dimana sumberdaya alam dipandang sebagai sumber ekonomi untuk di eksploitasi dan dikeruk habis dalam memenuhi kebutuhan pasar komoditas mengakibatkan ancaman serius bagi wilayah-wilayah kelola rakyat dengan praktek keberlanjutan berdasarkan kearifan lokal dengan kerja kolektif dan komunal untuk pemenuhan ekonomi subsistem dan keberlanjutan penghidupan rakyat di sekitarnya melalui jasa layanan alam. 

Investasi besar ini menggunakan skema pengusaan lahan yang luas disertai praktek yang merusak, merampas tanah rakyat, mencemari lingkungan dan melakukan pelanggaran hukum menjadi skema yang selama ini dijalankan untuk mengakumulasi modalnya. 

Saat ini investasi modal dengan komoditas tambang, perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) dan logging konsensi (HPH) telah menguasai sebagian besar wilayah di Kalimantan, fakta penguasaan ini bisa dilihat dari perijinan; Kalimantan Selatan yang memiliki luasan 3,7 juta hektar dimana 2,3 juta hektar telah di kuasai oleh investasi, begitu juga di Kalimantan Barat yang memiliki daratan seluas 14,7 juta hektar dimana pengusaan investasi mencapai 13,6 juta hektar, sedangkan Kalimantan Tengah yang luas daratannya mencapai 15,3 juta hektar dan penguasaan investasi mencapai 12, 8 juta hektar sudah di kuasai oleh investasi, dan yang paling mengejutkan bahwa Kalimantan Timur yang memiliki luasan 19,6 juta hektar luasan ijin telah melebihi luas wilayahnya hingga mencapai 21,7 juta hektar. 

Kondisi ini menunjukan Kalimantan merupakan pulau yang saat ini sedang dan terus dikeruk oleh industri ektraktif yang telah merampas dan mengancam wilayah kelola rakyat dan aset produksi yang berkelanjutan yang menjadi sumber penghidupan dan kawasan ekologi genting seperti dataran tinggi yang merupakan sumber tangkapan air (cathment area) dan mengkonversi lahan gambut yang akan menghilangkan kandungan karbon yang juga salah satu penyumbang terbesar pada gas rumah kaca yang mempengaruhi iklim global dan mengancam keselamatan warga. 

Momentum Politik 

Tahun 2014, adalah tahun politik, seperti yang di ketahui bahwa beberapa waktu yang lalu, rakyat telah menggunakan hak pilihnya untuk menentukan siapa saja yang akan duduk di lembaga legislative, dari daerah sampai dengan pusat. Sejurus itu, pada Juli 2014 mendatang, rakyat kembali akan dihadapkan pada momentum pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. 

Sejak reformasi tahun 1998, organisasi masyarakat sipil terus berupaya secara bersama-sama dengan rakyat menuju cita-cita perubahan social. Tetapi hal demikian belumlah menampakkan hasil yang signifikan, dalam kurun waktu demikian panjang, secara khusus Isu Lingkungan masih menjadi isu “kelas dua” dan bukanlah menjadi satu persoalan yang sesungguhnya menjadi bagian utama di republik ini. Dalam upaya berkepanjangan, sejak WALHI mengusulkan TAP MPR No. IX tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang tidak juga ditetapkan pemerintah, kerusakan ecology secara bergelombang terus melaju tinggi. Hal ini tidak juga mendapat tempat dan menjadi perhatian yang serius dalam tata kelola pemerintahan. 

Pada tahun 2008, WALHI secara nasional meluncurkan kampaye Restorasi Ekologi, yang pada pertengahan 2010 disambut dengan kampanye nasional Pulihkan Indonesia, Utamakan Keselamatan Rakyat. Hal ini tidak terlepas dari satu kenyataan bahwa laju kerusakan ecology tidak hanya pada tingkat sederhana, tapi sudah masuk pada darurat ecology. Catatan WALHI sejak 2011-2013, persentase kerusakan lingkungan melonjak 300%, angka fantastis yang belum pernah tercatat sebelumnya, dengan demikian tepatlah jika pada awal 2012, WALHI menegaskan untuk Bersihkan Pemerintah dan Parlemen Perusak Lingkungan. 

Memeriksa dan menilai progress tersebut, WALHI sebagai organisasi lingkungan hidup dan HAM terbesar di Indonesia, senantiasa mengingatkan dan mendesak pemerintah untuk segera melakukan serangkaian tindakan sistematis demi penyelamatan lingkungan hidup. Pemerintah haruslah menjadi garda terdepan untuk membela kepentingan rakyat luas, memastikan keselamatan rakyat dan keadilan ekologis, sudah tentu WALHI sebagai organisasi masyarakat sipil turut serta dalam aksi-aksi penyelamatan lingkungan secara massif tersebut. 

Isu Lingkungan Hidup adalah Utama 

Siapa menguasai tanah dan sumber daya alam, maka dia menguasai dunia; kalimat ini bukanlah satu kalimat yang mengada-ada, tetapi kalimat ini sesungguhnya sebuah peringatan keras bagaimana selayaknya kekayaan alam haruslah untuk kemakmuran rakyat, sepenuhnya. Oleh karena demikian itu, maka pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup haruslah diutamakan. 

Indonesia, sebagai satu negara bangsa yang sebagian besar hajat hidup rakyatnya disandarkan pada sumber-sumber agraria, hari ini telah menemukan keadaan yang sangat menyengsarakan. Perkebunan skala besar, pertambangan, produksi migas dan energy telah menggeser peri kehidupan rakyat ke dalam titik yang menakutkan. Hal ini tidak lepas dari satu kongsi jahat antara pemerintah dan pemegang modal. WALHI menegaskan; untuk pemerintahan baru kedepan harus segera melakukan satu pemeriksaan secara menyeluruh serta komprehensif terhadap kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat dan Negara. Pemeriksaan ulang izin-izin untuk perusahaan keruk dan rakus lahan harus menjadi sasaran utama. 

WALHI berpandangan, simpang siurnya penyelesaian konflik agraria dan lingkungan secara khusus, antara pemerintah dan rakyat, rakyat dan pengusaha yang semakin subur, satu Badan Khusus sebagai satu kelembagaan penyelesaian konflik harus segera didirikan, sehingga kanalisasi semua persoalan dapat dilakukan secara cepat dan menemukan jalan keluar yang baik. Maka dengan demikian, pemerintah juga harus melakukan satu penguatan khusus pada lembaga Negara yang menangani persoalan lingkungan hidup, tentu juga satu pengadilan lingkungan hidup menjadi hal yang penting, sehingga kriminalisasi rakyat bisa di hentikan. 

Tata kelola dan sumber-sumber kehidupan rakyat yang berkeadilan haruslah menjadi tanggung jawab Negara sepenuhnya, kebijakan pemerintah haruslah berorientasi pada perlindungan untuk rakyat dan pemerintahan kedepan haruslah mengakomodir dan memfasilitasi rakyat terhadap wilayah kelola serta sumber-sumber kehidupannya. 

Sebagai penutup, Negara-negara utara, yang tergabung dalam kelompok Negara kelas satu telah menciptakan berbagai hal atas nama perubahan dan pembangunan kemanusiaan. Inisiatif pembangunan millennium dan berkelanjutan sesungguhnya menuai protes secara global, karena penuh rekayasa dan hanya mementingkan kepentingan dalam negeri dan nasional mereka. Perubahan iklim adalah juga satu ancaman nyata bagi kelangsungan hidup umat manusia diatas planet bumi. Satu keniscayaan bahwa kerakusan manusia atas manusia dan kejahatan lingkungan secara terus menerus akan berdampak buruk pada generasi mendatang. Momentum 2014 ini, adalah satu awal bagi pemerintahan kedepan untuk mengeluarkan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan tentang iklim yang komprehensif, detail dan bertanggung jawab.#

Selasa, 20 Mei 2014

Jangan ada Pembungkaman Kebebasan Berpendapat

Sejak didirikan tanggal 14 Mei 2014 dan baru diketahui raib pada 15 Mei 2014 pagi, tenda "Posko untuk Keadilan dan Kemanusiaan" yang didirikan oleh gabungan organisasi masyarakat sipil, organisasi mahasiswa, warga dan individu yang tergabung dalam "Gerakan Masyarakat untuk Pembebasan warga Korban Kriminalisasi" hingga kini (Minggu, 18/5) tanpa kabar. 

Kejadian tersebut tentu sangat kami sayangkan. Apalagi hilangnya tenda tersebut berseberangan dengan pos jaga Polisi di kawasan Bundaran Untan. Bahkan sebelum pendirian tenda, kami telah menyurati pihak kepolisian dan bahkan sempat berdialog hingga terjadi kesepahaman bersama. 

Pendirian tenda "Posko untuk Keadilan dan Kemanusiaan" didasari atas niat baik sebagai bentuk solidaritas terhadap persoalan ketidakadilan yang menciderai rasa kemanusiaan atas kasus penangkapan paksa dengan cara-cara kekerasan dan bahkan ancaman terhadap warga desa Batu Daya saat itu. 

Pendirian posko dimaksudkan sebagai ruang segenap organisasi yang tergabung di dalamnya untuk berkumpul dan mempromosikan pentingnya penegakan keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dimana negara memiliki kewajiban asasi. 

Kami berharap agar ada tindakan pengusutan oleh berbagai pihak tempat kami menyampaikan laporan atas raibnya tenda posko beberapa waktu lalu. Kami percaya yang membongkarnya bukanlah saudara kita pemulung, karena kami sangat percaya mereka lebih punya hati dan pikiran yang baik. Tentu ada pihak yang tidak menginginkan usaha yang kami lakukan untuk mempromosikan keadilan dan kemanusiaan. Karenanya, kami berharap agar jangan ada pembungkaman atas kebebasan berpendapat sebagaimana telah tegas dijamin dalam konstitusi republik ini. Kami juga berharap agar lembaga komisioner seperti Komnas HAM dengan dukungan segenap rakyat menjadi benteng dalam perlawanan terhadap upaya pembungkaman kebebasan berpendapat di muka umum. Kami juga berharap ada keterbukaan dari berbagai pihak, khususnya pihak terkait bila memang mengetahui dan atau melakukan pembongkaran atas keberadaan material tenda posko yang kami dirikan. 

Sebagaimana diketahui bahwa, pasca penangkapan paksa atas lima warga Desa Batu Daya dan dua diantara warga masih mendekam di Rutan Polda Kalbar. Kejadian penangkapan paksa 5 Mei 2014 lalu menyisakan persoalan bagi warga terutama rasa trauma yang mendalam terutama bagi anak-anak usia sekolah yang saat itu menyaksikan langsung peristiwa kekerasan dan penangkapan paksa. Juga menyaksikan langsung dentuman senapan yang digunakan aparat kepolisian saat itu. Beberapa diantara anak-anak trauma dan mengalami demam. 

Penangkapan warga Desa Batu Daya sendiri berawal dari terjadinya bentrok di Camp PT. Swadaya Mukti Prakarsa (SMP)/First Resources antara warga dengan pihak Brimob yang sejalk awal menjaga kawasan sekitar perusahaan saat itu. Warga bermaksud mempertanyakan kewajiban perusahaan untuk pemenuhan hak mereka kepada pimpinan managemen perusahaan yang tak kunjung ada kejelasan namun dihadang oleh pihak security dan pihak kepolisian sehingga satu diantara warga yang juga Kades Batu Daya disekap dan mengalami babak belur. Sedangkan salah seorang oknum polisi saat itu lecet di bagian keningnya akibat lemparan benda keras. Atas kejadian ini, warga kemudian di tangkap.

Senin, 05 Mei 2014

TOLAK KEKERASAN TERHADAP JURNALIS

Hari Pers Internasional (World Press Freedom Day) yang jatuh setiap 3 Mei menjadi momen peringatan wartawan di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Apalagi, penuntasan berbagai kasus kekerasan yang menimpa wartawan di Indonesia, hingga kini belum juga menemui titik terang. 

Sejak runtuhnya rezim orde baru, kebebasan pers dimulai pada periode ini dengan dibentuknya Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun, regulasi yang jelas ternyata tak menjamin adanya perlindungan dan kebebasan terhadap jurnalis. Sejumlah kekerasan fisik kerap dialami awak pers tanpa adanya kejelasan penyelesaian kasus, seperti naik ke meja hijau atau persidangan. 

Berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum Pers jumlah kasus kekerasan yang dialami jurnalis pada 2013 sebanyak 50 kasus, yang meliputi ancaman atau teror, pengusiran dan larangan peliputan, serangan fisik, sensor, tuntutan/ gugatan hukum, regulasi, demonstrasi dan pengerahan massa, perusakan kantor serta perusakan alat. 

Maraknya kekerasan menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap jurnalis, terutama mereka yang bekerja di wilayah konflik dan rawan. Beberapa titik kelemahan tersebut adalah perlindungan yang minim dari media tempat jurnalis bekerja, adanya kelemahan perlindungan dari pemerintah seperti impunitas atau pembiaran pelaku kejahatan dari tanggung jawab hukum menjadi penyebab meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis. 

Hanya sebagian kecil kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis yang kemudian diusut dan diadili. Di samping itu, hingga saat ini pemerintah khususnya aparat Kepolisian masih memiliki utang yang belum terbayarkan yakni mengusut tuntas dan membawa para pelaku pembunuh jurnalis khususnya kasus pembunuhan terhadap jurnalis Bernas Yogya, Fuad Muhammad Sjafruddin yang sangat mendesak karena akan kadaluarsa pada Agustus 2014. 

Selain itu, tak sedikit jurnalis yang bekerja tidak sesuai kode etik jurnalistik sehingga kerap menjadi persoalan atas pemberitaan. Bahkan, kasus kekerasan yang dialami oleh jurnalistik justru berujung dengan perdamaian dengan cara penawaran pemasangan iklan oleh pelaku kekerasan di media yang bersangkutan. 

Selanjutnya, untuk lembaga penegak hukum seperti hakim, polisi, jasa dan advokat diharapkan dapat melakukan proses hukum terhadap tindak kekerasan terhadap jurnalis, menggunakan UU Pers dalam menyelesaikan masalah pers dan melaksanakan nota kesepahaman antara Polri dan dewan pers, dalam penegakan hukum dan perlindungan kebebasan pers. 

Pekerja pers juga diharapkan dapat memaksimalkan peran strategis media dalam pemberantasan korupsi, melakukan sosialisasi UU Pers, meningkatkan profesionalisme dalam melaksanakan kerja jurnalistik, menulis dengan dasar KEJ dan UU Pers 1999, melaksanakan peran dan fungsi pers dengan melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum serta melakukan konsolidasi untuk melawan setiap kekerasan terhadap jurnalis dan kebijakan yang mengancam kebebasan pers. 

Sementara AJI Jakarta mencatat sedikitnya ada delapan kasus pembunuhan jurnalis sejak tahun 1996 sampai sekarang yang belum diselesaikan secara tuntas. Nama para jurnalis yang menjadi korban yaitu Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin dari harian Bernas, Naimullah jurnalis Sinar Pagi dan Agus Mulyawan jurnalis Asia Press. Selanjutnya, Ersa Siregar jurnalis RCTI, Herliyanto jurnalis Delta Pos, Adriansyah Matrais Wibisono jurnalis TV lokal di Merauke dan Alfred Mirulewan jurnalis tabloid Pelangi. 

Sayangnya, setiap laporan kasus kekerasan terhadap jurnalis sejak tahun 1996 banyak yang tidak ditindaklanjuti kepolisian. Sehingga terkesan ada pembiaran dan menciptakan impunitas hukum bagi para pelaku. 

KEKERASAN WARTAWAN BISA DIMINIMALISASIR JIKA SAJA : 

• Pihak yang berkonflik memegang teguh undang - undang pers dan kode etik jurnalistik. 
• Memahami fungsi dan tugas wartawan sebagai penyampai berita dalam rangka memenuhi keingintahuan   publik. 
• Melalui mekanisme yang sudah ditetapkan. Jika jalur di media, gunakan hak jawab, ralat, dan sebagainya. Jika melalui jalur Dewan Pers, bisa melalui mediasi, rekonsiliasi dan sebagainya. 
• Wartawan memegang teguh kode etik jurnalistik untuk meminimalkan konflik terusan akibat pemberitaan yang dilaporkan 

Berangkat dari itulah, dalam rangka Peringatan Hari Pers Internasional yang akan digelar di Bundaran Digulis Pontianak pada Sabtu, 3 Mei 2014, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pontianak menyerukan : 

1. Menolak setiap aksi kekerasan terhadap jurnalis 
2. Usut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis Kalbar, antara lain : kasus pemukulan terhadap wartawan Metro Pontianak, Arief Nugroho dan wartawan Metro TV, Faisal pada 13 Maret 2010 yang dilakukan oleh oknum mahasiswa Fakultas Teknik Untan, dan kasus-kasus lain. 
3. Stop mempekerjakan jurnalis tanpa kontrak yang jelas dan perjelas status kontributor atau stringer 
4. Tingkatkan kesejahteraan jurnalis dengan memberikan upah layak dan berbagai tunjangan lain. 
5. Usut kasus pembunuhan wartawan Udin Bernas yang hingga kini belum tuntas. 
6. Selesaikan sengketa jurnalistik dengan menggunakan Undang-Undang Pers.