Bertarung dan Mengarung LAUT

Indonesia sebagai Negara maritim, yang 3/4 wilayahnya merupakan lautan, menyimpan berbagai potensi kekayaan laut, mulai dari minyak, mineral, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut hingga berbagai spesies ikan. Selama ratusan tahun pelaut – pelaut nusantara mengarungi ombak, bertarung dengan buruknya cuaca, melemparkan jala untuk menangkap ikan. Namun` belakangan ini Indonesia mulai bermasalah dengan laut, mulai dari kerusakan terumbu karang, pencemaran limbah, aberasi pantai dan yang terakhir Aksi Illegal Fishing. Harus diakui luas lautan Indonesia yang mencapai 5, 8 juta Km, “menjadi surga dari berbagai biota laut”, dan karunia ini tidak dimiliki oleh negara – negara lain. Sehingga tidak mengherankan jika kekayaan laut ini, diintip oleh negara – negara tetangga, yang kemudian berpura – pura tidak tahu, memfasilitasi nelayan - nelayan mereka menjarah kekayaan laut Indonesia. Nelayan – nelayan asing ini kian hari semakin berani, bahkan masuk wilayah terdalam teritorial untuk menguras kekayaan dan menyingkirkan nelayan lokal dengan kasar. Mereka datang dengan semangat tempur dan melengkapi diri dengan persenjataan modern dan lengkap, “sehingga tidak jarang terjadi aksi saling tembak dengan aparat penjaga teritorial. Begitu pula perairan Kalbar, yang memiliki perbatasan laut dengan beberapa negara luar, juga rawan terhadap aksi pencurian ikan. Nelayan – nelayan asal negara Muangthai, Vietnam, Laos, Kamboja, Malaysia dan China sudah tidak asing lagi terdengar di telinga, tertangkap patroli sedang mencuri ikan di perairan Indonesia.
Adapun sebab meningkatnya aksi pencurian ikan Indonesia adalah pertumbuhan populasi penduduk dunia dan pergeseran preferensi diet dari read meat ke white meat, “ hal ini menyebabkan kebutuhan ikan meningkat signifikan. Collapse nya sejumlah Fishing Ground juga mendorong rasionalisasi armada di sejumlah negara, sementara industri pengolahan ikan harus dipertahankan. Tingginya disparitas harga ikan dunia, yang di bagian lain `melimpahnya kekayaan ikan di Lautan Indonesia ternyata belum diimbangi dengan kapasitas nelayan nasional secara memadai. Serta kebijakan perikanan di Indonesia memungkinkan penerapan sistem laut terbuka. Ditambah lagi dengan kapasitas pengawasan dari institusi terkait, juga belum belum memadai.
Disamping merugikan negara dari sektor devisa yang mencapai 30 trilyun per tahun, maraknya Illegal Fishing juga mendesak nelayan lokal yang berakibat berkurangnya kesempatan kerja. Bukan tidak mungkin jika tidak segera ditanggulangi, industri pengolahan ikan dalam negeri menjadi terpuruk, akibat kekurangan pasokan, sehingga mengancam kedaulatan ekonomi negara dari aspek Perikanan dan Kelautan. Bahkan` menurunnya hasil tangkapan per unit usaha nelayan dan perusahaan nasional, berpotensi melemahkan daya saing Indonesia di sektor perikanan. Di bagian lain` Overfishing dan Overcapacity juga mengancam Sumber Daya Ikan nasional. Modus operandi Illegal fishing dari para nelayan asing juga berbagai macam, mulai dari dokumen tanpa izin, punya izin tapi melanggar ketentuan alat tangkap (Fishing Ground, Port of Call), pemalsuan dokumen, manipulasi persyaratan (DC, Bill of Sale), hingga Transhipment di laut tanpa melapor PP serta Double Flagging.
Lazimnya nelayan asing menggunakan 2 unit kapal penggandeng, dan 1 unit kapal pengangkut, yang dilengkapi kebutuhan logistik. Jika dibandingkan dengan kapasitas kapal nelayan tradisional “yang rata – rata 50 ton, sangat jauh dengan kapal milik nelayan asing yang mengangkut 200 ton ikan dalam sekali berlayar.
Untuk menekan maraknya aksi pencurian ikan, maka Pemerintah melalui Departemen Kelautan dan perikanan – DKP, terus meningkatkan pengawasan di wilayah perairan. Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan - SDKP untuk menekan Illegal Fishing mulai meningkat signifikan, dengan mengerahkan sumber daya yang ada dan menggalang kerjasama dengan mitra penegak hukum. Serta mengoptimalkan kekuatan institusi dengan menerapkan prioritas, efektif dan efisien untuk mewujudkan pengelolaan SDKP yang bermanfaat bagi kesejahteraan dan keamanan.
Kebijakan yang diambil antara lain ; pengembangan kelembagaan di lokasi yang rawan Illegal Fishing, penerapan sistem pemantauan, Pengendalian dan Pengawasan (Monitoring Controling and Surveillance/ MCS). Kemudian dilanjutkan dengan pengembangan institusi pengawasan sesuai hirarkhi dan kebutuhan di lapangan, pengembangan lintas instansi untuk mengatasi kesenjangan kapasitas pengawasan SDKP serta pengembangan kerjasama regional dan internasional dalam menagani IUU Fishing. Strategi yang ditempuh selain pencegahan offensif sebelum terjadinya pelanggaran di wilayah kelautan dan perikanan, juga menggelar reaksi cepat dalam penanganan dan pelanggaran tindak pidana. Termasuk pembinaan terhadap pelaku untuk meningkatkan kesadaran agar tidak melanggar hukum, serta melakukan koordinasi dengan instansi terkait (Bakorkamla, TNI AL, Polri). Sedangkan prinsip – prinsip yang diterapkan yakni ; pengawasan berawal di darat dan berakhir di darat, melaksanakan operasi sapu bersih, menyidik dan menuntut dengan pasal tuntutan maksimal dan menindak secara tegas (termasuk sanksi administrasi).
Khusus aspek pembinaan` kendati masih sedikit, tampaknya mulai berhasil. Ketika berkunjung ke stasiun PSKP Pontianak Desember tahun lalu, anggota Komisi IV DPR RI juga meninjau dan menyaksikan langsung kondisi puluhan nelayan asing yang ditahan. Bahkan` para legislator ini juga menyempatkan diri “berdialog dengan para nelayan maupun ABK yang terjaring dalam aksi illegal fishing. Melalui seorang penerjemah` salah seorang nelayan asal negara China, mengatakan sudah enam bulan mendekam dalam tahanan, dan kini menunggu proses pemulangan ke negara asal. Kepada Ketua Komisi IV Ahmad Muqowam “dirinya mengaku ditangkap petugas Pengawas Perikanan, karena mencuri ikan di Laut Natuna. Dirinya berjanji setelah menjalani proses hukum, tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut dan memilih ganti profesi lain.
Dalam paparannya dihadapan anggota komisi IV DPR RI di Stasiun PSKP Pontianak, Direktur Jendral P2SKP Departemen Kelautan dan Perikanan Aji Sularso menyebutkan” dari hasil operasi kapal pengawas perikanan hingga November 2009, tercatat sebanyak 2. 926 unit kapal yang diperiksa, “129 unit diantaranya telah diadhock. Sedangkan di tahun 2008 “ dari 2.178 unit kapal yang diperiksa, sebanyak 243 unit kapal yang diadhock. Dan di tahun 2007 sebanyak 2. 207 unit kapal yang diperiksa, 184 unit diantaranya diadhock. Sementara itu` nilai kerugian negara yang diselamatkan sejak tahun 2002 hingga 2007, mencapai angka 1, 9 trilyun rupiah.
Hingga November 2009 tercatat 470 nelayan asing, yang terjaring dalam operasi penanganan illegal fishing. Dan sebanyak 256 orang diantaranya telah dideportasi, masing – masing 132 nelayan asal negara Vietnam, 103 nelayan asal negara Kamboja dan 23 nelayan asal negara Thailand. Sedangkan sisanya “sebanyak 214 nelayan masih dalam proses hukum, yakni 80 orang asal negara Thailand, 77 orang asal negara Vietnam, 25 orang asal negara Kamboja, 18 orang asal negara China, 12 orang asal negara Malaysia dan 2 orang asal negara Laos.
Namun keberhasilan menangkap nelayan yang terjaring dalam patroli, belum selaras dengan regulasi yang dapat menjadi acuan dalam pemanfaatan kapal – kapal hasil sitaan. Terbukti 14 unit kapal ikan milik nelayan asing yang terjaring dalam patroli kapal Pengawas Perikanan di perairan Natuna beberapa waktu lalu, kini menjadi besi rongsokan di Stasiun Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan - PSKP Pontianak. Proses hukum yang panjang dan rumit untuk melelang kapal tersebut, mengakibatkan belasan kapal hasil sitaan” bernilai milyaran rupiah itu tidak dapat dimanfaatkan. Ditemui di sela – sela kunjungan`anggota Komisi IV DPR RI Siswono Yudohusodo mengaku miris terhadap kondisi tersebut. Dirinya menegaskan, ‘seharusnya kapal yang berstatus barang sitaan negara, dapat dimanfaatkan untuk menunjang biaya operasional Lembaga Penjaga perairan maupun mendukung aktivitas para nelayan lokal. Sambil menunggu proses persidangan “kapal tersebut sebenarnya dapat dipinjamkan atau disewakan, tentunya melalui suatu perjanjian yang melibatkan seluruh instansi terkait.
Dikonfirmasi` Aji Sularso mengungkapkan, “selain proses pelelangan kapal sitaan yang membutuhkan waktu yang panjang dan nilai jual yang relatif murah. Disinyalir ada oknum yang bermain dalam proses pelelangan, “sehingga tidak jarang kapal hasil sitaan kemudian dibeli lagi oleh sang pemilik dan kembali melakukan aksi pencurian di perairan Indonesia. Disamping itu` persoalan lain yang juga menjadi dilema yakni, kapal – kapal hasil sitaan kadangkala di bawa ke luar Kalbar, dan tidak diadili di pengadilan Pontianak. Untuk itulah Danlanal Pontianak Kolonel Laut (P) Parno pernah mengusulkan “pada komite IV DPD RI yang berkunjung ke Pontianak Desember lalu, “agar kapal hasil sitaan aparat berwajib beserta isinya, dibawa ke Kalbar dan kemudian dipergunakan untuk pengembangan aspek maritim TNI AL. Apalagi persoalan klasik TNI AL, sebagai garda terdepan pengamanan laut nusantara, adalah minimya sarana penunjang dan terbatasnya biaya operasional.
Dirinya menyebutkan puluhan kapal ikan milik nelayan asing, yang disita aparat berwajib, karena terbukti mencuri ikan di perairan Indonesia, seringkali berkahir tanpa kejelasan. Bahkan banyak dari kapal hasil sitaan aparat, baik dari tangkapan TNI AL, polairud maupun Dinas Kelautan dan Perairan – DKP, kemudian menjadi barang rongsokan dan tidak dimanfaatkan. Padahal` hasil pelelangan atas kapal dan isinya, dapat dipergunakan untuk menutupi biaya operasional satuan penjaga wilayah perairan.
Visi dan Misi DKP di masa depan membawa Indonesia sebagai negara penghasil dan produk terbesar pada tahun 2015, serta mensejahterakan masyarakat kelautan dan perikanan. Untuk itu Grand Strategy yang diusung yakni ; memperkuat kelembaggan dan SDM secara integratif, mengelola SDKP secara berkelanjutan, meningkatkan produktifitas dan daya saing berbasis pengetahuan serta memperluas akses pasar domestik dan internasional. Adapun kegiatan yang dilakukan untuk menjalankan program membebaskan Indonesia dari aksi Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing dan aktifitas yang merusak SDKP telah disusun DKP, yakni : meningkatkan operasional pengawasan SDKP dan Kapal pengawas, serta mengembangkan sarana dan prasarana pengawasan maupun pemantauan kapal perikanan. Berikut proses hukum tindak pidana kelautan dan perikanan serta dukungan manajemen dan pelalsanaan tugas teknis.
Untuk mewujudkan kelembagaan pengawasan SDKP yang berwibawa dan handal, sangat dibutuhkan dukungan lembaga legislatif, baik dukungan politis maupun anggaran. Dukungan politik mencakup mendukung keberlanjutan program pemberantasan IUU Fishing, mendorong pengembangan pengawasan sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir serta PPK. Serta mendorong peningkatan eselonisasi lembaga pengawasan dan mendorong sinergi antar instansi penegak hukum untuk percepatan penyelesaian berbagai kasus pelanggaran perikanan. Sedangkan anggaran pengalokasian anggaran DAU dan DAK secara konsisten, sesuai roadmap atau Blueprint pengawasan SDKP serta dialokasikan secara memadai.
Sementara itu` Pengadilan Perikanan sebagai bagian dari Pengawasan perikanan masih terbatas di lima kota yakni : Medan, Pontianak, Jakarta, Tual dan Bitung. Begitu pula UPT Pengawasan SDKP dimana Pangkalan SDKP (Eselon III A) baru ada di Jakarta dan Bitung. Sedangkan stasiun SDKP (Eselon IV A) ada di Belawan, Pontianak dan Tual. Namun satuan pengawasan tersebar pada 58 lokasi di Indonesia.Sedangkan Vessel Monitoring System (VMS) terdiri dari ; Kapal Pengawas, alat komunikasi, MSA pesawat/UAV, radar sateli/pantai, Pokmaswas, pengawas/PPNS, semuanya secara integratif. Sementara sarana pengawasan terdiri dari 60 unit speddboat dan 23 unit kapal (2 kapal hiu macan 36 M berbahan fibreglass, 23 Kapal Hiu macan bebahan baja, 10 kapal hiu 28 M berbahan fibreglass, 2 kapal Todak 18 M, 2 kapal barracuda 17 M, 2 kapal Taka Lamungan & Padaido 23 M serta 2 kapal ukuran 42 & 32 meter). Untuk mencukupi jumlah ideal, masIh dibutuhkan sebanyak 50 Kapal patroli dalam berbagai ukuran dan 400 unit speedboat.
Di bagian persenjataan, terdapat 75 unit senjata laras pendek (pistol – 3 A Kaliber/ 7, 65 mm), senjata 175 unit senjata laras panjang (PM 1-A2/ Kaliber 9x21 mm) serta senjata standar TNI AL (12, 7 mm) yang terpasang di 17 unit Kapal pengawas. Kemudian alat komunikasi sebanyak 61 unit, tersebar di seluruh Indonesia.SDM pengawasan juga masih terbatas, terdiri dari 280 Awak Kapal Pengawas yang tersebar di 39 unit kapal dan speedboat pengawas perikanan, dari berbagai ukuran kapal. Serta didukung 578 Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang tersebar di berbagai daerah. Kemudian 47 hakim Ad Hock yang bertugas pada 5 Pengadilan Perikanan, 30 Hakim Karier serta 25 Panitera. Sementara Pokmaswas, hingga tahun 2008 tercatat terbentut 1. 369 di 33 Provinsi.
Tahun 2010 DKP menargetkan 320 M atau 10 % dari total anggaran sekitar 326, 27 M, untuk membiayai pengadaan sejumlah fasilitas pengawasan, diantaranya ; 7 unit Speedboat, 1. 000 unit VMS offline serta pembangunan berbagai prasarana pengawasan (antara lain dermaa, mess ABK dan Gudang barang bukti). Kemudian biaya untuk menggelar operasi kapal pengawas selama 180 hari per tahun ( ideal 250 hari per tahun). Serta dipergunakan untuk membiayai perawatan unit kapal pengawas.
Komposisi usulan anggaran tahun 2010 ; DIT KP sebesar 117, 2 M (36, 1 %), SETDITJEN sebesar 98, 2 M (30, 3 %), DIT SARPRAWAS sebesar 56, 3 M ( 17, DIT WAS SDP sebesar 23, 17 M (7, 2 %), DIT PP sebesar 16, 2 M ( 5 %) serta DIT SDK sebesar 13, 2 M (4, 1 %).Target tahun 2011 hingga 2014 estimasi anggaran untuk mengatasi GAP dalam melaksanakan Tupoksi pengawasan SDKP yakni ; tahun 2011 sebesar 1. 067. 370. 000, tahun 2012 sebesar 1. 854. 020. 000, tahun 2013 sebesar 2. 331. 030. 000, dan tahun 2014 sebesar 2. 595. 800. 000,-.