Gelora yang Bergelora

PONTIANAK. Deru mesin dan suara nyaring dari knalpot motor serta sorak sorai para penonton ketika menyaksikan atraksi pembalap, kini tak lagi terdengar di sirkuit Grasstrack Syarif Mahmud Alqadri di kompleks Gelora Khatulistiwa Pontianak. Arena para pembalap untuk unjuk kebolehan menunggangi kuda besinya itu, tinggal kenangan. Sirkuit tersebut hilang, menyusul keputusan kontroversial Pemprov Kalbar mengalihfungsikan sebagian lahan Gelora Khatulistiwa, yang terletak di antara Jl. Ahmad Yani dan Jl. MT. Haryono untuk kepentingan bisnis.
Areal tersebut telah diserahkan pengelolaannya pada pihak ketiga, yakni PT. Citra Putra Mandiri/CPM untuk pembangunan Carrefour. Bukan hanya sirkuit, nasib yang sama juga menimpa arena pacuan kuda, lapangan golf mini/diving ring serta beberapa sarana pendukung lainnya juga terancam digusur.
Kawasan Gelora Khatulistiwa seluas 28 hektar sebenarnya bukan hanya sebagai pusat kegiatan olahraga, namun di dalamnya juga terdapat restoran, kolam renang, pengembangan tanaman hias serta areal latihan mengemudi.
Awalnya lahan tersebut merupakan milik KONI, dengan sertifikat dari BPN sejak tahun 1977. Tapi penafsiran sepihak Pemprov dan BPN atas undang-undang, menyebabkan lahan tersebut berpindah tangan menjadi milik Pemprov. KONI Kalbar dianggap bukan lembaga berbadan hukum, sehingga tidak diperbolehkan memiliki sertifikat tanah. Padahal KONI Kalbar adalah organisasi yang menginduk pada KONI Pusat yang berbadan hukum.

Ironis memang, karena saat ini KONI Kalbar harus menyewa lahan yang dahulunya milik mereka. Anggota DPRD Kalbar Andri Hudaya Wijaya menyatakan, keputusan Pemprov Kalbar untuk mengalihfungsikan 6,4 hektar lahan Gelora Khatulistiwa, sebenarnya melangkahi Undang–Undang Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Sebab kerjasama yang ditandatangani antara Sekda Kalbar MZ. Hamdy Assovie dengan Direktur PT. CPM Raja Sapta Oktohari September 2010, dilakukan tanpa mengatongi surata izin Menpora. Padahal dalam aturan tersebut menyebutkan, setiap pengalihan sarana dan prasarana olahraga untuk kepentingan non olahraga, harus mendapatkan izin dari Menpora.
Tapi Asisten II Setda Kalbar Kartius berdalih, bahwa kerjasama hanya melanjutkan kesepakatan lama, antara gubernur Kalbar Usman Ja`far – Hildi Hamid 2000 silam. Sehingga tidak perlu rekomendasi dari DPRD, apalagi izin Menpora. Kerjasama merupakan kebijakan untuk mendayagunakan aset provinsi dalam bentuk HGB antara 20 – 30 tahun. Terkait nilai investasi, Kartius enggan menyebutkan.

Tapi jika diteliti secara seksama, kerjasama yang ditandatangani sebenarnya adalah antara KONI Kalbar dengan PT. CPM, bukan antara Pemprov dengan PT. CPM. Mantan Direktur PT. CPM Hildi Hamid pun mengakui, bahwa kesepakatan yang dahulu dibuat adalah antara perusahaan dengan KONI, bukan dengan Pemprov.
Begitu pula mantan gubernur Kalbar Usman Ja`far membenarkan, bahwa MOU yang ditandatangani dirinya saat itu, adalah sebagai Ketua Umum KONI, bukan sebagai gubernur. Adapun tindaklanjut dari kerjasama adalah pemecahan sertifikat. Tetapi karena terganjal aturan, akhirnya lahan milik KONI tersebut dialihkan menjadi milik Pemprov Kalbar. Hanya prosesnya tidak selesai hingga akhir masa jabatannya 2007 lalu. “Sebenarnya setelah keluar sertifikat pemecahan itu, maka KONI itu mendapat hak pengelolahan dari Pemprov untuk mengelola asset yang untuk kegiatan olah raga”. “Jadi pemeliharaan segala gedung apa pun dulunya, masih di bawah Pemprov “, ungkap Usman”.

Pengalihan sebagian lahan Gelora Khatulistiwa menjadi kawasan bisnis, juga menabrak Perda Nomor 4 Tahun 2002 Kota Pontianak Tentang Tata Ruang Wilayah, dimana kawasan tersebut diperuntukkan untuk perkantoran. Bahkan, Wakil ketua DPRD Kalbar Prabasa Ananta Tur menyatakan, kerjasama Pemprov dengan pihak ketiga, bertentangan dengan pasal 20 PP Nomor 6 Tahun 2006 dan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007.
“Kerjasama dengan pihak ketiga atas aset atau barang milik pemerintah dengan masa kontrak di atas 20 tahun, harus melalui proses lelang”. ”Bukan sistem penunjukan langsung, seperti yang diterapkan Pemprov, dengan menunjuk langsung PT. CPM untuk memanfaatkan 6,4 hektar lahan Gelora Khatulistiwa”. “Ndak bisa PL, harus lelang dan siapapun terserah. “Sedangkan pihak pertamakan kemarin belum juga kerja, begitu dia habis 30 tahun, dia harus lelang”, jelas Prabasa. “Sebenarnya aparat penegak hukum, baik Kepolisian maupun Kejaksaan sudah bisa menyelidiki ini, karena ini bukan delik aduan”, tegas Prabasa.

Walaupun dihujani kritikan dan kecaman karena melanggar aturan perundang – undangan, tetapi proses pembangunan Carrefur tetap berlangsung. Ibarat kata pepatah, “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”.
Proses awal dimulainya kegiatan proyek yakni pemagaran lahan seluas 1,6 hektar, meliputi arena grasstrack dan pacuan kuda. Untuk melakukan pemagaran, pemerintah justru memanfaatkan jasa pengurus KONI Kalbar Syarif Usman al Muntahar, yang akhirnya menyebabkan perpecahan di tubuh organsisasi ini sehingga menjadi 2 kubu, yakni kubu yang menentang alihfungsi dipimpin oleh Ketua Umum KONI Syarif Mahmud Alqadrie dan Kubu yang mendukung dipimpin Ketua III KONI Syarif Usman Almuntahar. Bahkan di lapangan kedua kubu nyaris bentrok, ketika massa Syarif Mahmud menghadang kelompok Syarif Usman untuk memagari kompleks Gelora Khatulistiwa.
Peristiwa itu berkepanjangan. Syarif Usman mengadukan Syarif Mahmud ke polisi. Tindakan Syarif Usman yang pro pada pemerintah dianggap sebagian besar pengurus KONI Kalbar, sebagai bentuk pengkhianatan terhadap organisasi.
Sanksi tegas pun diambil dengan memberhentikan yang bersangkutan sebagai pengurus KONI Kalbar. Syarif Mahmud menegaskan bahwa dalam pasal 28 berbunyi, Ketua Umum punya wewenang penuh, untuk memberhentikan pengurus. “Karena yang mengangkat pengurus KONI Provinsi itu kan, Ketua Umum, maka cukup diplenokan”. “Terkecuali untuk memberhentikan keanggotaan KONI Kabupaten/Kota, itu memang harus didahului surat peringatan 3 kali”, jelas Mahmud.

Pengurus KONI Syamsul Bahri sangat mengkhawatirkan, jika kompleks Gelora Khatulistiwa digusur, maka olahraga di Kalbar yang memang minim prestasi semakin terpuruk. Mengingat Sport Center sebagai pengganti seluas 300 hektar di Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya masih sebatas wacana. “Mega Mall aja sudah di situ, dibangun lagi Carrefur”. “Ndak masuk akal” kesal Syamsul.

Pro dan kontra terhadap alihfungsi juga terjadi di masyarakat. Direktur LSM al Ikhrat, Sumardi M. Nur, mendukung pembangunan Carrefur untuk memajukan daerah. Karena dapat menyerap tenaga kerja hingga mencapai 8.000 orang serta pemasukan bagi PAD. Dibandingkan saat ini, pengelolaan atas semua lahan KONI pada pihak ketiga terbilang minim bagi daerah. Baru 15 juta rupiah per bulan untuk kas daerah. Apalagi pengembang menjanjikan dan memprioritaskan para atlit untuk dipekerjakan pada Caerrefur.

Polemik kian memanas dan berpotensi memicu konflik! Apalagi pernyataan gubernur Kalbar Cornelis, yang provokatif semakin memanaskan suasana. Bukannya berinisiatif untuk mengajak semua pihak duduk satu meja dan membicarakan persoalan ini dengan kepala dingin, namun orang nomor 1 di Kalbar ini justru menantang pihak yang berseberangan. “akan kita hadapi, emang kita gentar..? Kasih tau, gua nggak gentar... memangnya swasta ngatur pemerintah! Bagi saya sudah sesuai dengan prosedur, dan kita sudah konsultasikan dengan Menteri Dalam Negeri”, tegas Cornelis.

Polemik seputar alihfungsi sarana olahraga untuk pembangunan Carrefur di kompleks Gelora khatulistiwa semakin bertambah kusut. Karena sejumlah politisi yang duduk di DPRD Kalbar berinisiatif membentuk panitia khusus/pansus aset KONI, untuk menelaah proses alihfungsi yang dinilai dipaksakan dan melanggar sejumlah aturan. Sedikitnya 21 anggota DPRD Kalbar siap memberikan dukungan untuk membentuk pansus tersebut. Namun langkah itu sepertinya terganjal kebijakan pimpinan dewan yang kurang merespon pembentukannya.
Ketua DPRD Kalbar Minsen SH menyatakan pembentukan pansus memang perlu, namun dewan masih sibuk menyelesaikan sejumlah pekerjaan penting lainnya. “Untuk pembentukan Pansus itukan harus di paripurna, paripurna inikan harus diagendakan Bamus, sepanjang Bamus itu tidak mengagendakan untuk itu, ya.. ndak bisa”. ”Saya sebagai pimpinan kan ndak bisa kerja sendiri”, jelas Minsen”.

Pihak yang menentang kemudian melayangkan surat ke Menpora dan DPR meminta agar proses pengalihan asset dibatalkan. Akhirnya Menpora mengutus staf khusus Faisal Abdullah untuk meninjau dan mendengar paparan Pemprov Kalbar, terkait pengalihan sarana dan prasarana olahraga untuk kepentingan ekonomi. Faisal mengakui kedatangannya untuk menindaklanjuti surat yang diterima Menpora dari beberapa pihak yang menolak alihungsi lahan seluas 6,4 hektar di Gelora Khatulistiwa. Namun tugasnya hanya sebatas mengumpulkan data, meninjau lokasi dan menggelar audiens dengan Pemprov. Hasil pertemuan nantinya diserahkan pada Menpora dan selanjutnya menjadi kewenangan yang bersangkutan untuk memutuskan. “Kehadiran saya di sini adalah dalam rangka merespon. Misalnya ada lahan, nanti kita datang, melihat, mendengarkan, mengkaji. Nanti kita mendalaminya, apa tindak lanjutnya” jelas Faisal”.

Di luar konteks salah dan benar proses alihfungsi aset olahraga, yang jelas keputusan pemerintah untuk mengalihkan sarana olahraga sangat memukul pelaku olahraga. Khususnya Pordasi, karena menjadi korban pertama penggusuran areal pacuan kuda. Ketua PORDASI Kalbar Nasran Umar hanya dapat memohon pada pihak pengembang, tetap mempertahankan lokasi pacuan kuda untuk sementara waktu, sambil menunggu lokasi baru yang lebih representative. Agar tidak mengganggu proses pembinaan atlit pacuan kuda, yang kini tengah konsentrasi penuh untuk mengikuti kejuaraan nasional. Atau kalaupun memang harus digusur, dirinya meminta izin agar diperbolehkan untuk menggunakan sebagian areal di kompleks Gelora Khatuslistiwa untuk menjadi lokasi pacuan kuda.
Pada intinya pihaknya tidak menentang pemanfaatan lahan Gelora untuk kegiatan bisnis atau menolak alihfungsi asset, hanya saja lokasi baru yang nanti disediakan pemerintah diminta tidak berada di luar kota. Karena menyulitkan Pordasi untuk melakukan pembinaan prestasi atlit dan cabang olahraga berkuda di Kalbar. “Kalau seandainya jauh dari jangkauan masyarakat, kami merasa kesulitan juga mengenai biaya perawatan kuda. Biaya perawatan kuda ini kan, kami ambil dari delman. Sedangakan selama inikan belum ada bantuan dari pemerintah atau instansi yang terkait. Kalau satu hari itu, mau 150 ribu, itu sudah irit” keluh Nasran”. Memang berbagai dampak akan muncul saat rencana alih fungsi itu terjadi. Dari sisi ekonomi misalnya, alihfungsi lahan KONI menjadi pusat bisnis adalah satu kebijakan yang menguntungkan bagi pendapatan atau kas daerah.

Pengamat ekonomi Untan Pontianak Dian Patria memprediksi Kota Pontianak bisa maju dan berkembang pesat jika alihfungsi itu terjadi. Namun Pemerintah daerah juga diingatkan untuk tidak mengalihfungsikan seluruh pusat olahraga itu menjadi tempat bisnis. Karena sudah sepantasnya pusat olahraga harus ada di kota Pontianak yang menjadi ibu kota provinsi. ”Komitmen apa yang akan diberikan kepada pemerintah untuk mengelola olahraga di Kalbar? “Jangan diambil begitu saja”, ingat Dian”.

Saat ini, masalah alihfungsi aset dan kerjasama sebagian lahan kompleks Gelora Khatulistiwa Pontianak, masih menunggu hasil kajian oleh Menpora. Tapi pengerjaan pembangunan Carrefur di kompleks Gelora Khatulistiwa terus berjalan, meskipun hanya pada lokasi bekas areal sirkuit. Seluruh insan olahraga di Kalbar menunggu dengan harap-harap cemas, realisasi pembangunan Sport Center di Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya.
Ditengarai berbagai kalangan, pada akhirnya perkembangan dunia olahraga akan semakin suram, di tengah kian merosotnya prestasi atlit dan cabang olahraga di Kalbar dekade ini. Ancaman yang serupa juga dialami sebagian pengurus Pengprov kecabangan olahraga yang bermarkas di sana. Karena setelah menguasai lahan 6 hektar, tidak menutup kemungkinan pihak pengembang juga akan menguasai seluruh areal dengan luas 28 hektar. Semoga saja tidak .....................?????  

0 comments:

Posting Komentar