Si mungil Gendang Gendis mulai menghilang

Keberadaan parit bagi sebagian masyarakat Kalbar, bukan sekedar bagian dari sistem drainase ataupun saluran irigasi pertanian. Namun juga menjadi bagian dari berbagai aktifitas kehidupan, khususnya menyangkut rumah tangga. Di Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya misalnya, parit Bugis yang melintasi Jl. Adi Sucipto dan Arteri Supadio ini, merupakan tempat keseharian bagi kaum wanita, untuk mandi, menyuci pakaian maupun perabotan. Juga menjadi salah satu kesukaan anak-anak, untuk berenang dan bermain di air parit yang berwarna hitam kecoklatan ini. Suatu fenomena nyata bahwa parit, “merupakan tempat keseharian yang sangat penting bagi masyarakat sekitarnya. Bahkan` di musim kemarau, air yang mengalir manakala pasang tiba, ditimba pula oleh penduduk setempat untuk cadangan persedian air di rumah. Aktifitas lainnya yang juga terkonsentrasi di parit ini adalah, mengalirnya air pembuangan dari perumahan, pertokoan serta limbah perbengkelan.

Namun` tanpa disadari oleh mereka, penggunaan shampo, sabun, deterjen maupun pemutih untuk membersihkan rambut, badan, pakaian maupun perabotan rumah tangga lainnya, telah menimbulkan dampak buruk bagi ekosistem yang ada di parit. Deterjen buatan atau Synthetic Detergent, yang terbuat dari LAS (Lauril Alkil Sulfonat) dan ABS (Alkil Benzena Sulfonat), direaksikan dengan basa, yakni Natrium Hidroksida. Sebagai salah satu bahan pembersih, deterjen bersifat hampir sama dengan sabun, bila dituangkan ke dalam air dapat melepaskan kotoran dari suatu benda, serta bersifat hidrofob atau menarik kotoran dan hidrofil atau menarik air. Menurut Peneliti Perikanan dari Universitas Muhammadiyah Pontianak Ir. Hendiyanto Msc, deterjen adalah garam sulfoniat, dimana molekulnya sukar terdegradasi oleh bakteri pengurai. Kandungan zat kimia pada berbagai jenis pembersih tadi, secara perlahan telah menurunkan kadar oksigen di parit. Di perairan yang mengandung konsentrasi oksigen terlarut rendah, gerakan membuka dan menutupnya insang berlangsung lebih cepat, sehingga proses kematian ikan akibat polusi deterjen menjadi lebih cepat.

Salah satunya adalah ikan Gendang - gendis, yang dalam bahasa latin dinamakan Brachygobius Doriae. Panjang tubuh ikan ini antara 2 - 2,5 cm, dan memiliki warna dasar hitam dengan tiga lingkaran warna kuning yakni ; di kepala, di dekat sirip punggung dan di dekat pangkal ekor. Sekitar 10 tahun silam, Ikan mungil ini begitu mudah ditemui di hampir setiap parit yang ada di Kabupaten Kubu Raya, kebiasaannya hidup dan berkembang biak di antara tanaman air seperti Alga, Hidrilla dan Teratai.

Meskipun ikan mungil ini bukan termasuk hewan langka, dan diduga sebagian kalangan masih melimpah, namun di Kecamatan Sungai Raya sudah diambang kepunahan. Dari hasil pantauan di hampir semua parit pada 5 desa di kecamatan Sungai Raya, yakni desa Sungai Raya, Teluk Kapuas, Arang Limbung, Limbung dan Kuala Dua, ikan mungil ini sulit ditemukan , “ seperti hijrah mengembara ke tempat lain. Namun` menyusutnya populasi jenis ikan, bukanlah akibat perburuan atau wabah penyakit “melainkan akibat ketidaktahuan dan kecerobohan manusia.

Hendiyanto juga menyebutkan bahan kimia lain yang dapat menurunkan kualitas air, yakni oli bekas dari bengkel. Oli yang bercampur minyak, begitu saja dibuang ke parit tanpa diolah atau melalui proses filterisasi. Akibatnya kualitas air semakin menurun dan tanaman air secara perlahan mati, yang menyebabkan ikan gendang - gendis dan belasan jenis lainnya menyusut tajam.

Habitat asli gendang – gendis adalah parit, bukan di sungai maupun danau. Ikan ini Hidup semi koloni, di air jernih yang dangkal dan mengalir di antara tanaman air. Ikan ini paling senang berenang di antara daun dan batang dari tanaman air, sekaligus mencari makanan berupa plankton yang ada di sekitar tanaman air. Dampak langsung polutan terhadap spesies ikan, yakni serangan penyakit Emboli. Dimana ikan mengalami gangguan pada organ pernafasan, reproduksi, peredaran darah serta mekanisme pencernaan. Dalam jangka waktu yang lama, dapat menimbulkan bercak – bercak pada tubuh ikan. Sedangkan dampak tidak langsung yakni gangguan terhadap habitat ikan, melalui kandungan Nitrogen maupun Posfor dari deterjen. Polutan Nitrogen dan Pospor yang berlebihan, bakal memicu Eltropikasi atau pertumbuhan plankton secara tidak terkendali. Plankton menghisap seluruh oksigen di bawah air, sehingga bukan saja mematikan spesies ikan namun juga tanaman air yang menjadi habitat ikan. Populasi ikan yang masih hidup, sulit berkembang biak dan kerap mengalami stress, karena ekosistem penyangga telah hilang.

Belakangan menjamurnya usaha cuci mobil, semakin memperparah pencemaran air di sebagian parit di kecamatan Sungai Raya. Sebab usaha penyucian membuang air yang bercampur deterjen langsung ke parit, tanpa menggunakan filter.

Apalagi umumnya parit di kecamatan ini semakin lama kian dipersempit, sebagian diantaranya ditutup. Bahkan` pada beberapa lokasi telah menjadi tempat pembuangan sampah, sehingga memicu pendangkalan dan menghambat arus air parit. Air pun berubah menjadi comberan, berwarna hitam dan berbau busuk. Ditambah lagi sampah non organik seperti kaca, besi, kardus, kain dan kayu,serta kantong plastik telah menjadikan parit layaknya Tempat Pembuangan Akhir.

“ Kalau di pagi hari, air yang terlalu banyak plankton, maka kadar oksigennya menjadi rendah. Akibatnya ikan – ikan pada mati. Kemudian pada malam hari terjadi respirasi, akibat penggunaan oksigen oleh plankton – plankton itu. Kalau di siang hari, pengaruhnya bisa menyebabkan oversaturasi atau kelebihan oksigen. Selanjutnya plankton yang mati akan membusuk, dan ketika dalam suatu perairan yang tidak ada oksigennya, memicu terjadinya racun seperti Amonia dan H2S dsb. “tegas Ir. Hediyanto.

Berdasarkan penelitian Guru Besar Ilmu Kimia Agroindustri Fakultas MIPA Universitas Tanjungpura Pontianak, Prof. Dr. Thamrin Usman, telah terjadi pergeseran sumber polutan di parit, kanal maupun sungai Kapuas di Kabupaten Kubu Raya sekitar 5 tahun terakhir. Jika sebelumnya industri pengolahan kayu berkontribusi besar terhadap pencemaran air sungai, melalui senyawa kimia seperti Phenol, Formalin, Urea maupun Melamin, kini setelah bangkrutnya industri perkayuan di Kalbar, polutan berasal dari limbah domestik dan industri non kayu. Memang kadarnya tergolong kecil dibandingkan zat kimia dari limbah pabrik, namun jumlahnya yang begitu tinggi mengakibatkan deterjen menjadi salah satu polutan berbahaya bagi ekosistem lingkungan. Apalagi Kecamatan Sungai Raya sebagai ibukota Kabupaten, memiliki populasi penduduk cukup padat mencapai 150. 000 jiwa. Dan semua rumah penduduk, baik yang tinggal dalam kompleks maupun perumahan umum, membuang limbah rumah tangga ke dalam selokan atau got, yang akhirnya menuju sungai. Jika setiap warga Sungai Raya mandi satu kali sehari saja, dengan menghasilkan air sabun dan deterjen sekitar satu gayung, maka dalam sehari produksi limbah mencapai 150. 000 gayung. Jika diasumsikan 1 gayung sama dengan 1 liter, maka produksinya mencapai 150. 000 liter. Dikalikan setahun sebanyak 360 hari, jumlahnya sama seperti danau air sabun dan deterjen. Inilah yang diproduksi rumah tangga.! Jika kapasitasnya sudah seperti ini, tentu saja menyamai atau juga dapat mengalahkan polutan dari limbah industri.

“ Dewasa ini, industri kayu telah meredup, namun aspeksitas tambahan yang tidak kalah berbahayanya adalah, polutan rumah tangga seperti deterjen, dan limbah perbengkelan seperti pelumas dan minyak bakar. Polutan ini menambah kelanjutan dari polusi pada sungai dan parit, sehingga biota – biota yang sudah terlanjur punah, susah untuk kita temukan lagi. Karena ikan – ikan ini tidak punya kesempatan untuk regenerasi atau mempertahankan kelangsungan hidupnya” ungkap Dr. Thamrin Usman. 

Seiring perkembangan daerah dan pertumbuhan penduduk, juga dibarengi dengan meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor. Maka menjamurlah puluhan bengkel di sepanjang Jl. Adi Sucipto maupun Jl. Arteri Supadio. Terdapat sebanyak 30 bengkel yang beroperasi di sepanjang Jl. Adi Sucipto, di kiri dan kanan parit. Serta 12 bengkel di Jl. Arteri Supadio, semuanya membuang langsung limbah oli bekas ke selokan, yang kemudian mengalir ke parit menuju sungai. Ditinjau dari komposisi kimia, oli adalah campuran hidrokarbon dengan berbagai bahan kimia aditif. Sedangkan oli bekas bengkel yang dibuang ke parit, melebihi itu,”karena mengandung sisa hasil pembakaran yang bersifat asam dan korosif, deposit serta logam berat yang bersifat karsinogenik. 

Berdasarkan kriteria limbah yang dikeluarkan Kementrian Lingkungan Hidup - KLH, maka oli bekas termasuk limbah B3 atau Bahan Berbahaya dan Beracun. Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 1999, limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun, yang dapat mencemarkan atau merusak lingkungan hidup, sehingga membahayakan kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya terutama yg hidup dialiran sungai dan parit. Begitulah bunyi aturan tersebut, namun beginilah kondisinya.

Sifat oli yang tidak dapat larut di air, menyebabkan oli bekas yang dibuang ke parit, mengambang di atas permukaan air, sehingga menghambat sinar matahari dan sirkualasi udara. Kontak langung dengan ikan, dapat menyebabkan oli melekat pada insang, sehingga mengganggu pernafasan. Hal inilah yg merupakan penyebab utama kematian berbagai jenis tanaman air, dan habitat ikan gendang - gendis. Di beberapa titik di kecamatan Sungai Raya, parit bukan lagi tempat ikan hidup dan berkembang biak , namun genangan air berganti genangan oli bekas.

Kondisi ini diperparah lagi dengan rendahnya pemahaman masyarakat tentang perlunya kelestarian lingkungan, dan pentingnya keseimbangan ekologi. Fenomena pencemaran air dianggap lumrah , dan bukan sebagai ancaman. Meskipun telah disaksikan di depan mata, bahwa sebagian makhluk hidup diambang kepunahan akibat produk limbah rumah tangga. Tanda – tanda alam sebenarnya mulai tampak, dengan menurunnya pengetahuan generasi baru di daerah ini, tentang keanekaragaman satwa air.

Buih – buih yang dahulu terlihat, akibat aliran air membentur dinding parit, menandakan kualitas air masih terjamin. Kini telah tergantikan busa sabun dan deterjen, membawa racun dan mengalirkannya ke sepanjang sungai. Berbagai jenis ikan yang berenang ketika air masih jernih, kini menghilang dan tinggal menyisakan cerita masa lalu. Terbukti, saat ini banyak anak – anak belasan tahun yang tidak mengenal ikan gendang – gendis, bahkan merasa asing ketika mendengar nama sang ikan disebut. Seperti pengakuan polos Ratna Silvia, siswa kelas V SD di Desa Teluk Kapuas. Dirinya hanya pernah mendengar, namun belum pernah melihat bentuk ikan gendang – gendis, jenis ikan yang begitu akrab dengan orang tuanya dahulu. Syukurlah, dirinya masih ingat beberapa nama jenis ikan lainnya dan beberapa kali sempat melihatnya, di salah satu selokan di belakang sekolah.

“ pernah lihat ikan gabus, terus ikan – ikan kecil, ikan selomang, ikan lele serta belut. Tapi ikan sepat, gendang - gendis, ikan betok dan ikan tangket tidak tahu” aku Ratna Silvia

Beberapa spesies ikan air tawar di Kalbar yang mulai langka, menarik sebagian orang untuk membudiyakannya. Tapi tidak demikian halnya dengan ikan gendang – gendis. Di kota Pontianak, beberapa toko penjual ikan hias air tawar, tidak mengoleksi ikan ini di etalase toko mereka. Berbeda dibanding ikan selomang, ikan kaloi, ikan belidak atau ikan Amerika, apalagi ikan arwana. Kelangkaan telah menempatkan ikan ini di rangking teratas ikan hias, dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Walaupun sama – sama telah kehilangan habitat dan populasinya kian menyusut, tetapi ikan gendang – gendis belum menjadi bahan lirikan dan peluang investasi namun ikan gendang gendis adalah potret nyata kepunahan karena pencemran. Salah seorang pedagang ikan di Jalan Pattimura Pontianak Denny, mengatakan,”belum tertarik menjual ikan ini, karena masih sepi peminat. Meskipun warna ikan cukup menarik, namun belum layak menghiasi akuarium para penggemar ikan. Selama ini ikan mas koki masih menjadi target utama para pembeli yg sebagian besar didatangkan dari Surabaya dan Tulung agung.

“ kita di sini enggak ada yang menjual ikan itu, semua yang ada berasal dan disuplai dari pulau Jawa. Tetapi jika dijual, masih tetap ada kemungkinan untuk dibeli` jelas Danny.

Meskipun di ambang kepunahan, namun hingga hari ini belum tampak adanya reaksi dan aksi yg berusaha menyelematkan lingkungan setempat,agar contoh kecil menyusutnya ikan gendang - gendis adalah fenomena nyata. Mungkin karena ikan ini kurang bernilai ekonomis, atau karena di Kalbar masih terdapat ratusan spesies ikan lain sehingga kehilangan satu jenis tidak menjadi permasalahan . Atau barangkali masyarakat terlalu sibuk dengan persoalan perut dan Pemerintah terlalu sibuk mengatasi wabah penyakit, sehingga ikan kecil nan mungil ini luput dari pengamatan . Hal ini disesalkan Ketua Divisi Advokasi dan Pendidikan Lingkungan Wahana Lingkungan Hidup – Walhi Kalbar Nicodemus Ale. Dirinya menilai Pemerintah Daerah begitu lamban merespon perubahan lingkungan, akibat kegiatan pembangunan dan akibat lain-lainnya . Meskipun belum memiliki data akurat, namun dirinya meyakini puluhan jenis ikan lain juga terancam punah , layaknya gendang – gendis. Menurutnya limbah atau bahan buangan yang dihasilkan dari semua aktifitas kehidupan manusia, baik dari setiap rumah tangga, kegiatan pertanian, perkebunan, industri maupun pertambangan tidak dapat dihindari. Namun` pemerintah dapat mencegah atau paling tidak mengurangi dampak dari limbah tersebut, agar tidak merusak dan memperparah kerusakan lingkungan yang pada akhirnya mengancam kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. 

Nicodemus Ale : “ sudah sepantasnya kalau kita membangun yang namanya Sentra Penanganan Limbah secara menyeluruh di Kalbar, dan kalau bisa diwujudkan secepat mungkin. Karena perangkat hukum yang ada, serta aturan yang mengatur mekanisme pengelolaan limbah, selau gagal dipraktekkan di lapangan. Bahkan` lembaga usaha yang terbukti melanggar, juga tidak pernah dikenakan sanksi. Sedangkan untuk rumah tangga, harus dilakukan sosialisasi melalui kegiatan – kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang dibentuk”.

Bukan hanya ikan gendang – gendis yang terancam akibat polutan, namun juga berbagai jenis ikan endemik lainnya, termasuk yang memiliki habitat di sungai Kapuas dan beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kalbar. Sebab` seluruh parit, selokan, kanal yang ada di Kabupaten Kubu Raya, kota Pontianak maupun kabupaten kota di Kalbar bermuara di Sungai Kapuas. Jika di bagian hilir, sungai tercemari limbah domestik dan limbah industri, maka di bagian hulu, “pencemaran terjadi karena Mercury dari aktivitas penambangan ilegal. Jika demikian halnya, maka kerusakan sungai Kapuas bukan hanya mengancam kepunahan ikan gendang – gendis, namun juga seluruh ikan endemik lokal. Belum lagi, ratusan ribu masyarakat yang bermukim di sepanjang sungai Kapuas, juga memanfaatkan sungai ini untuk aktifitas Mandi Cuci dan Kakus - MCK.

Bagaimanapun tidak ada jalan lain yg harus ditempuh kecuali melakukan penyelamatan lingkungan. Pihak yang dikomplain paling bertanggung jawab adalah Pemerintah,” sehingga sudah saatnya melaksanakan langkah kongkrit. Yang memungkinkan, meniru beberapa daerah lain di pulau Jawa, yang mulai berhasil mengendalikan produk limbah. Contohnya Pemerintah Kota Surabaya yang membangun Sentra Penanganan Limbah di Kawasan industri Rungkut. Hal serupa sudah seharusnya ditempuh Pemerintah Kabupaten Kubu Raya, dengan membangun Sentra Penanganan Limbah di Kawasan industri Sungai Raya, mengingat beban limbah yang dihasilkan per detik berada pada tahap kritis. Begitu pula kota Pontianak dan Singkawang, yang merupakan penghasil limbah cair domestik terbesar di Kalbar. Secara lisan, dukungan telah disampaikan anggota Komisi B DPRD Kalbar Awang Sofyan Rozali, terhadap perlunya penanganan limbah secara komprehensif.

Awang Sofyan Rozali : “ Kalau instalasi intern perusahaan, maka itu wajib perusahaan yang bersangkutan. Tetapi produk limbah cair maupun padat yang belum bisa diproses sendiri, tentu harus diupayakan bersama pelaku usaha, adanya sebuah perusahaan yang bisa mengolah limbah itu untuk dimusnahkan. Tentunya dalam beberapa hal, wajar jika Pemerintah memfasilitasi. Kita juga harus mendorong agar di Kalbar ini, lahir perusahaan yang bisa mengelola limbah, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pemerintah“.

Saudara, menyusutnya populasi Ikan gendang – gendis hanya contoh kecil, betapa berbahayanya dampak pencemaran lingkungan . Contoh ini juga mengindikasikan ketidakseriusan ,kemampuan dan sekaligus kegagalan pemerintah serta masyarakat dalam menyelamatkan lingkungan sehingga mengancam ekologi. Sebab` punahnya satu jenis satwa, secara otomatis memutus mata rantai ekologi dan berpengaruh terhadap mata rantai ekologi lainnya. Konsekuensinya` terjadi ketidakseimbangan yang tanpa disadari berpengaruh buruk terhadap kehidupan manusia. Sebenarnya nilai ikan atau biota lainnya, bukanlah satu-satunya barometer dari harga jual di pasar, sebab setiap jenis satwa memiliki peran penting terhadap ekosistem.

Artinya, solusi untuk mengatasi ancaman limbah dan kepunahan satwa, telah ada di depan mata, baik ditinjau dari metode, lokasi maupun perangkat. Memang di satu sisi, merealisasikan kedua hal tersebut membutuhkan dukungan dari semua pihak, termasuk ketersediaan pendanaan. Namun` jika masing – masing pemerintah daerah, terutama para pemangku jabatan, menyadari perlunya menjaga kelestarian lingkungan, dan pentingnya mata rantai ekologi bagi kelangsungan hidup, bukanlah hal yang mustahil dapat diwujudkan. Tidaklah harus ideal seperti yang dilakukan oleh kota – kota besar di negara maju, namun` upaya bertahap yang dibarengi dengan meningkatkan kesadaran masyarakat, akan dapat mengendalikan produk limbah sekaligus menjaga lingkungan tetap berkualitas serta menjamin kelangsungan hidup mahluk hidup dan biota lainnya di alam ini.