Senin, 30 Juni 2014

Mempetisi Kapolda Kalbar

Kasus yang menimpa dua orang warga Batu Daya yakni Yohanes Singkul dan Anyun yang mendekam dalam tahanan Mapolda Kalimantan Barat sejak 5 Mei 2014 lalu masih menyisakan keprihatinan. Hadirnya perusahaan kelapa sawit PT. Swadaya Mukti Prakarsa/PT. First Resources yang tidak memihak kepentingan warga menjadi faktor penting atas peristiwa ketidak-adilan yang dialami. Kasus ini selanjutnya bukan hanya mampu melukai rasa keadilan, juga rasa kemanusiaan yang memiriskan hati. Pengabaian hak warga oleh pihak perusahaan yang disertai tindak penangkapan paksa disertai cara kekerasan dan ancaman yang dilakukan aparat Kepolisian daerah Kalimantan Barat juga telah membuat warga trauma. Juga dialami anak-anak usia sekolah. Bahkan diantaranya ada yang mengalami demam. 

Peristiwa ketidakadilan dalam tatakelola sumberdaya alam yang menyebabkan lahirnya konflik agraria dimana rakyat lemah pemilik wilayah kelola selanjutnya menjadi korban tentu bukan hal baru. Karenanya, kasus Batu Daya, di Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang sudah seharusnya mendapat perhatian semua pihak termasuk pimpinan Kepolisian daerah Kalimantan Barat. Singkatnya telah terjadi tragedi kemanusiaan dan ketidakadilan yang menyebabkan peristiwa kriminalisasi atas dua warga Batu Daya. Pihak Kepolisian daerah Kalimantan Barat maupun pihak penegak hukum lainnya sedianya dapat memeberikan keadilan dengan MEMBEBASKAN kedua warga dimaksud. 

Melalui lembaran ini, kami telah menggalang dukungan untuk petisi yang dimulai sejak tanggal 25 Mei 2014. Hingga saat ini, Kamis, 12 Juni 2014 pukul 15.00 wiba sejumlah dukungan dari segenap warga Indonesia atas petisi kepada sejumlah pihak; (1) Kapolri, (2) Kapolda Kalimantan Barat, (3) Bupati Ketapang, (4) Komnas Hak Asasi Manusia, telah terkumpul. Adapun PETISI tersebut pada prinsipnya MEMINTA PEMBEBASAN atas Yohanes Singkul & Anyun, warga Desa Batu Daya, Kecamatan Simpang Dua, Ketapang, Kalimantan Barat. Secara lebih lengkap berikut poin petisi dimaksud; 

1. Dengan segala hormat, meminta Kapolda Kalimantan Barat untuk membebaskan Yohanes Singkul dan Anyun. Keduanya merupakan tulang punggung keluarga yang sedang dinanti di rumah, namun menjadi korban kriminalisasi atas hadirnya korporasi yang mengabaikan hak-hak komunitas. 

2. Mendesak institusi kepolisian sungguh-sungguh menjadi pengayom, pelindung dan pelayan rakyat yang professional. Serta tidak menjadi alat korporasi untuk melakukan tindakan refresif terhadap rakyat. 

3. Pulihkan rasa takut dan trauma yang dialami warga, serta meminta negara melalui lembaga komisioner (Komnas HAM) melakukan pengusutan terhadap; (1) tindak peristiwa penangkapan yang disertai tindak kekerasan yang menakibatkan warga ketakutan & trauma, (2) pengabaian hak-hak warga atas hadirnya perusahaan (PT. SMP/PT.FR) . 

4. Tarik aparat dari wilayah konsesi perusahaan dan wilayah Komunitas (Masyarakat Adat). 

5. Mendesak Pemerintah segera mencabut Izin PT. Swadaya Mukti Prakarsa (SMP)/PT. First Resources (FR). 

6. Memastikan adanya jaminan kebebasan berkumpul dan berpendapat bagi segenap warga sebagaimana amanat konstitusi serta jangan ada pembungkaman oleh siapapun dan kepada siapapun. 

7. Mendesak pihak Kepolisian mengusut tuntas raibnya tenda “Posko untuk Keadilan dan Kemanusiaan” dan meminta adanya keterbukaan kepada pihak yang membongkar tenda. 

Melalui kasus yang menimpa dua warga Batu Daya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat ini, diharapkan ada perhatian serius dari berbagai pihak utamanya pihak Kepolisian agar sungguh-sungguh dapat menjadi pelayan, pengayom dan pelindung rakyat yang profesional. Demikian halnya pemerintah untuk lebih mengedepankan kepentingan rakyat dan keberlanjutan lingkungan hidup dalam kebijakan pembangunan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan itu sendiri.

Selasa, 10 Juni 2014

Selamatkan Ekosistem Kalimantan untuk Keberlanjutan Kehidupan Rakyat!!!

Hak atas pembangunan yang memihak kepentingan rakyat utamanya Hak Atas Hidup merupakan hak universal yang melekat pada setiap manusia dan hal ini dengan sendirinya menjadi kewajiban asasi negara bersama seluruh komponennya untuk penghormatan, perlindungan maupun pemenuhannya.

Selanjutnya Resolusi PBB 1803 (XVII) 14 Desember 1962 juga menegaskan bahwa kedaulatan atas sumberdaya alam merupakan hak rakyat untuk dengan bebas mengatur kekayaan sumberdaya alam mereka. Hak atas lingkungan sebagai Hak Asasi mendapatkan pengakuan pada kesimpulan Sidang Komisi Tinggi HAM (April 2001), yang memandatkan bahwa “Setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan hidup”.

Dalam Konstitusi Negara Kita khususnya UUD 1945 pasal 28H ayat (1) menyatakan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal ini secara tegas juga disampaikan dalam UU 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup pasal 65 ayat (1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia, (2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Demikian juga dalam UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pasal 3 menyebutkan “Masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang lebih baik dan sehat”.

Begitu pentingnya lingkungan hidup untuk kebelanjutan kehidupan guna memastikan terpenuhinya hak hidup segala makhluk khususnya manusia. Namun demikian, kepastian pemenuhan hak atas lingkungan dalam perjalanannya mengalami persoalan ketika negara yang memiliki mandat melakukan kewajiban asasi justeru memberikan ruang bagi potensi terlanggarnya hak-hak warganya atas pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pelbagai regulasi seperti misalnya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur tentang perlindungan lingkungan. Namun sebagaimana diatur dan dinyatakan di dalam pelbagai regulasi tersebut, perlindungan lingkungan hidup dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia kerapkali tidak sejalan dengan praktek.

Fakta bahwa krisis dan masalah lingkungan hidup sejatinya tidak semata lahir karena sikap setiap individu yang tidak bersahabat terhadap lingkungannya, namun lebih dari itu permasalahan krusial lingkungan hidup berakar dari persoalan struktural. Kebijakan industri ekstraktif (Perkebunan, pertambangan, hutan tanaman dan sejenisnya dalam skala luas) terhadap sumber daya lingkungan berbasis hutan dan lahan disadari telah menyebabkan rusaknya ruang hidup masyarakat dan juga habitat bagi satwa yang dilindungi.
Hal ini berdampak langsung pada hak dalam berbagai bidang ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup. 

Kasus kriminalisasi disertai tindakan kekerasan aparat yang dialami warga Batu Daya 5 Mei 2014 lalu yang hingga kini masih mendekam dalam tanahan Polda Kalimantan Barat atas hadirnya korporasi (PT. Swadaya Mukti Prakarsa/PT. First Resources), krisis air dan krisis (lahan) pangan yang terjadi, konflik sumber daya agraria, bencana kabut asap yang terus terulang, diabaikannya hak-hak komunitas (Masyarakat Adat) atas hadirnya korporasi yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi telah melahirkan persoalan ketidakadilan dan kemanusiaan. Pada kondisi ini, akses maupun kontrol masyarakat atas ruang hidupnya yang sejak lama mengandalkan sumber daya lingkungannya mengalami persoalan serius. Kebijakan atas nama pembangunan berbasis hutan dan lahan tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan pada akhirnya merampas ruang hidup untuk keberlanjutan kehidupan manusia Kalimantan. Dampak rusaknya lingkungan hidup pada kahirnya berimbas pula pada masyarakat perkotaan, termasuk di Kota Pontianak.

Massifnya izin bagi korporasi (sektor industri ekstraktif) di Kalimantan Barat dengan luas izin konsesi masing-masing mencapai; 378 izin perkebunan kelapa sawit seluas 4.962,022 ha, 721 izin pertambangan dengan seluas 5.074,338 ha dan 76 IUPHHK seluas 3.611,721 ha dengan luas keseluruhan mencapai 13,648,081 ha memperlihatkan ketimpangan luar biasa atas pemanfaatan sumber daya alam. Dalam hal ini luasan ijin tidak sebanding dengan luasan wilayah kelola masyarakat yang pada akhirnya juga berpotensi melahirkan pelanggaran dan perampasan tanah yang begitu nyata terus terjadi. Semakin kecilnya ruang kelola dan semakin luasnya eksploitasi berdampak pada kerusakan lingkungan yang kemudian jelas melanggar penghormatan dan perlindungan serta menghambat pemenuhan Hak Asasi Manusia. Pada sisi yang lain, kebijakan pengembangan izin bagi korporasi penting dievaluasi serta dihentikan sembari melakukan audit maupun penyelesaian serta pemulihan atas persoalan agraria utamanya terkait kesleamatan manusia juga lingkungan hidup.

Melalui perayaan Hari Lingkungan 5 Juni dengan tema “Selamatkan Ekosistem Kalimantan untuk Keberlanjutan Kehidupan Rakyat”, maka Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat secara bersama-sama menyerukan agar:
1. Kembalikan mandat negara sebagai pengemban kewajiban dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.

2. Tata ulang relasi antara negara, modal dan rakyat.

3. Selesaikan konflik sumberdaya alam dan lingkungan hidup

4. Pulihkan keseimbangan ekologis dan perlindungan lingkungan hidup.

Kamis, 05 Juni 2014

PETISI untuk Pembebasan Warga Ketapang warga Korban Kriminalisasi

PETISI 
PAK KAPOLDA KALBAR, BEBASKAN YOHANES & ANYUN, 
WARGA KORBAN KRIMINALISASI HADIRNYA 
PERUSAHAAN PT. SWADAYA MUKTI PRAKARSA/PT. FIRST RESOURCES 


Kepada Yth.
1. Kapolri
2. Kapolda Kalimantan Barat
3. Bupati Ketapang
4. Komnas HAM

DEMI KEADILAN DAN KEMANUSIAAN, 

Penangkapan paksa yang disertai cara-cara kekerasan dan bahkan ancaman oleh aparat, Brimob Polda Kalimantan Barat terhadap lima warga Desa Batu Daya, Kecamatan Simpang Dua, Ketapang (Antonius Sintu, Yohanes Singkul, Puram Jorben Marinel, Anyun dan Bethlyawan) pada 5 Mei 2014 lalu masih belum berakhir. Dua dari lima warga yang ditangkap, yakni Yohanes Singkul dan Anyun masih mendekam di rumah tahanan Kepolisian Daerah Kalimantan Barat. Keduanya disangkakan melakukan tindak penganiayaan dan membawa senjata tajam saat terjadi insiden kericuhan di kantor perusahaan kelapa sawit PT. Swadaya Mukti Prakarsa (SMP)/PT. First Resources (FR) pada 26 Oktober 2013. Selain seorang brimob yang menjadi korban lemparan benda keras yang mengenai bagian kepalanya, seorang warga yang juga kepala Desa Batu Daya turut menjadi korban, beliau disekap dan dikeroyok hingga babak belur hingga akhirnya pingsan.

Kehadiran warga tanggal 26 Oktober 2013 silam di Camp perusahaan sesungguhnya ruang dimana warga Desa Batu Daya untuk kesekian kalinya mendatangi kantor perusahaan, bermaksud menemui pimpinan PT. SMP/PT. FR guna menanyakan kesungguhan dalam mengakomodir hak-hak komunitas, termasuk hak atas lahan plasma yang sejak 18 tahun silam tidak kunjung ada kejelasan. Hadirnya aparat Brimob Polda Kalimantan Barat sejak awal dan dengan gagahnya menembakkan senapan ke udara guna memberi peringatan, justeru memantik amarah massa yang hadir menagih komitmen perusahaan. Beberapa diantaranya ada yang mengacungkan dan bahkan mengokang senjata (pistol dan senapan laras panjang). Kondisi miris yang telah melukai rasa keadilan dan kemanusiaan ini penting segera diakhiri dengan solusi dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Singkatnya, hadirnya warga ke kantor perusahaan dikarenakan adanya masalah yang lahir karena ketidakberpihakan perusahaan terhadap hak-hak komunitas yang menyebabkan warga dan aparat kepolisian menjadi korban langsung dari peristiwa tersebut.

Namun demikian, peristiwa penangkapan yang dilakukan pada 5 Mei 2014 juga turut mengundang keprihatinan mendalam. Aparat negara yang harusnya menjadi pengayom, pelindung dan pelayan bagi rakyat telah berhasil mengusik rasa kemanusiaan. Tentu pantas dipertanyakan pula hadirnya pasukan Brimob Polda Kalimantan Barat yang melakukan penangkapan langsung, bahkan turut melibatkan pihak perusahaan. Tindak penangkapan paksa dengan cara-cara kekerasan dan bahkan ancaman terhadap warga tidak terhindarkan. Kaum ibu dan anak-anak usia sekolah yang menyaksikan langsung peristiwa tersebut merasa takut dan bahkan trauma. Dampaknya beberapa anak-anak di antaranya mengalami demam.

Terkait dengan peristiwa ketidakadilan yang dialami warga, “Posko untuk Keadilan dan Kemanusiaan” yang didirikan pada 14 Mei 2014 sebagai solidaritas bersama segenap elemen masyarakat sipil, warga, individu dan organisasi mahasiswa (Gerakan Masyarakat untuk Pembebasan warga Korban Kriminalisasi) terhadap warga korban kriminalisasi dibongkar oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Dan kini belum ada keterbukaan dari pihak yang membongkarnya. Kejadian ini menyisakan kesan adanya upaya pembungkaman atas kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat yang tentu tidak sejalan dengan semangat amanat konstitusi.

Berkaca dari kenyataan sebagaimana diuraikan di atas, maka demi keadilan dan kemanusiaan kami menyerukan:

1. Dengan segala hormat, meminta Kapolda Kalimantan Barat untuk membebaskan Yohanes Singkul dan Anyun. Keduanya merupakan tulang punggung keluarga yang sedang dinanti di rumah, namun menjadi korban kriminalisasi atas hadirnya korporasi yang mengabaikan hak-hak komunitas.
2. Mendesak institusi kepolisian sungguh-sungguh menjadi pengayom, pelindung dan pelayan rakyat yang professional. Serta tidak menjadi alat korporasi untuk melakukan tindakan refresif terhadap rakyat.
3. Pulihkan rasa takut dan trauma yang dialami warga, serta meminta negara melalui lembaga komisioner (Komnas HAM) melakukan pengusutan terhadap; (1) tindak peristiwa penangkapan yang disertai tindak kekerasan yang menakibatkan warga ketakutan & trauma, (2) pengabaian hak-hak warga atas hadirnya perusahaan (PT. SMP/PT.FR) .
4. Tarik aparat dari wilayah konsesi perusahaan dan wilayah Komunitas (Masyarakat Adat).
5. Mendesak Pemerintah segera mencabut Izin PT. Swadaya Mukti Prakarsa (SMP)/PT. First Resources (FR).
6. Memastikan adanya jaminan kebebasan berkumpul dan berpendapat bagi segenap warga sebagaimana amanat konstitusi serta jangan ada pembungkaman oleh siapapun dan kepada siapapun.
7. Mendesak pihak Kepolisian mengusut tuntas raibnya tenda “Pokso untuk Keadilan dan Kemanusiaan” dan meminta adanya keterbukaan kepada pihak yang membongkar tenda. Demikian petisi ini kami sampaikan untuk kepentingan tegaknya keadilan dan kemanusiaan dalam bingkai NKRI yang dicintai.

Pontianak, 25 Mei 2014