Tradisi unik di KEPUTIHAN

Di tengah kemajuan Kabupaten Cirebon, sekelompok masyarakat setempat masih tetap mempertahankan tradisi leluhur. Mereka tinggal di dusun Keputihan desa Kertasari Kecamatan Weru, dengan wilayah seluas 4 hektare. Di sana tinggal sebanyak 23 KK. Selain bertani, mereka juga menjadi perajut net dan pengrajin rotan.
Tradisi leluhur yang masih dipertahankan warga adalah tidak mau membangun rumah dengan menggunakan bahan yang mengandung unsur tanah, seperti genteng dan batu-bata. Salah seorang warga, mbah Samiaji menuturkan, hal itu berarti penghuni rumah hidup di bawah atau dikelilingi tanah. Sedangkan warga berkeyakinan bahwa hanya orang yang telah meninggal saja yang hidup di dalam tanah. Dengan demikian seluruh rumah di wilayah tersebut, menggunakan atap daun dan dinding dari anyaman bambu.
Aturan ini bersifat mengikat, termasuk bagi pendatang. Asmuni warga desa Karangsari yang menetap di sana setelah menikahi warga setempat, merasa tidak masalah untuk mengikuti tradisi tersebut. Kemudian istrinya Rohmah menceritakan, beberapa tahun lalu pernah ada warga pendatang yang berani membangun rumah dengan menggunakan atap genting, dan tak lama sesudah itu, salah seorang anggota keluarganya menderita sakit hingga akhirnya meninggal dunia.
Kondisi ini tentu saja membuat warga takut untuk melanggar aturan tersebut. Kedua anak Asmuni juga tidak merasa terasing, bahkan tidak ada masalah bermain dengan teman – teman sebayanya, yang bukan warga Keputihan. Salah seorang putranya, Nurohman (11 tahun) justru merasa lebih kerasan tinggal di dalam rumahnya yang sederhana, daripada tinggal di rumah keluarga ayahnya di Karangsari, meskipun lebih permanen.
Suasana kekeluargaan juga terasa kental antara warga yang masih memegang tradisi dengan sebagian besar warga lainnya di dusun keputihan.
Satu - satunya warga yang berani menentang tradisi setempat adalah Pak Sarmun. Meski istrinya meninggal dunia setahun setelah membangun rumah permanen di dusun keputihan, namun ia yakin dan percaya bahwa musibah datang semata-mata karena takdir Allah SWT, bukan karena tradisi yang dipegang sebagian warga di Keputihan. Sedikit pun ia tak percaya, jika kematian sang istri akibat kutukan atau memiliki kaitan dengan tradisi yang dipegang tetangga sekitar.
Di luar konteks kepercayaan tersebut, sebenarnya warga tidak sepenuhnya menolak modernisasi, terbukti beberapa diantaranya menyimpan radio dan televisi serta mempunyai kendaraan bermotor roda dua.
Konon nama Keputihan berasal dari kejadian aneh beberapa ratus tahun silam. Di tengah dusun ada sebuah sumur tua yang digunakan warga, untuk keperluan sehari – hari. Dari dasar sumur muncul tanah putih sebesar lingkaran payung. Air sumur yang awalnya berwarna coklat dan kehitam-hitaman, lalu berubah menjadi jernih. Sejak saat itulah, dusun tersebut dinamakan Keputihan.
Menurut Budayawan Cirebon, Ki Kartani, tradisi masyarakat di dusun Keputihan harus tetap dilestarikan sebagai salah satu khasanah budaya bangsa. Dengan catatan tidak menjadikan tradisi tersebut sebagai agama. Bahkan dapat menjadi objek wisata yang menarik, karena keunikan masyarakat dan tradisinya. Tapi tentunya membutuhkan partisipasi semua pihak, terutama pemerintah setempat.



CIREBON 19 November 2011

0 comments:

Posting Komentar