Senin, 07 Juli 2014

Aksi bersama Masyarakat Sipil Kalimantan Barat 5 Juli: Serukan ‘Dekrit’ untuk Keselamatan Rakyat & Ekosistem Indonesia

SEMBILAN Juli 2014 mendatang, segenap warga di nusantara akan memiilih Presiden dan Wakil Presiden. Agenda lima tahunan ini kembali menyita perhatian publik. Visi maupun misi dari dua pasang Calon telah dan terus dibeberkan kepada masyarakat luas melalui berbagai kesempatan. Singkatnya, negeri kita saat ini sedang mencari dan menanti pemimpin baru untuk lima tahun ke depan.

Kampanye santun hingga dengan bentuk maupaun caranya yang “memuakkan” menuntut kesadaran penuh masyarakat luas agar tidak gampang terprovokasi maupun menelan mentah bentuk informasi dan janji-janji kampanye yang disampaikan. Demikian pula tayangan stasiun televisi penting dilihat secara kritis. Pada situasi ini, rakyat tentu penting dididik agar tidak gampang tersulut emosi apalagi sampai melakukan tindakan anarkis – beringas agar kedamaian dapat diraih. Peran dan panutan kandidat, kaum elitis bersama para pendukung menghadirkan sikap damai & sportif dengan mengedepankan etika politik santun yang bermartabat menjadi sangat penting. Demikian pula negara melalui sejumlah institusinya, juga pihak penyelenggara Pemilu, diharapkan dapat menempatkan diri sebagai penjaga aturan main terpercaya dalam memastikan penyelenggaraan pemilihan Presiden & Wakil Presiden agar berjalan baik.

Lebih penting dari hiruk pikuk yang ada, maka Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat yang terdiri dari sejumlah elemen CSO, organisasi mahasiswa dan komunitas memandang bahwa meletakkan kepentingan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup sebagai pusat perhatian serius dari capaian akhir dari proses Pemilu Presiden & Wakil Presiden 9 Juli penting sungguh menjadi perhatian serius.

“Pentingnya keselamatan rakyat dan lingkungan hidup mendapat perhatian serius karena hakikat proses demokrasi yang sedang berlangsung khususnya melalui Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bermuara pada kepentingan rakyat. Untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Maka di orientasi kepentingan keselamatan manusia dan lingkungannya harus ditempatkan pada posisi yang semestinya,” jelas Hendrikus Adam,” Koordinator Aksi.

Karenanya untuk menyampaikan hal tersebut, Sabtu (5/7) mendatang akan digelar aksi solidaritas bersama masyarakat sipil menyampaikan dekrit Rakyat Kalimantan Barat untuk keselamatan rakyat dan ekosistem Indonesia. Aksi independen tersebut akan menyampaikan delapan poin mandat yang merupakan dekrit rakyat untuk pemimpin Indonesia pasca 9 Juli.

Menurut Hendrikus Adam, kegiatan ini dipusatkan di kawasan Bundaran Untan mulai pukul 15.00 WIB yang akan dirangkai dengan sejumlah kegiatan kampanye penyelamatan lingkungan hidup dengan orasi, pembentangan spanduk 30 meter dan poster, pembagian selebaran, teaterikal dan akan diakhiri dengan buka puasa bersama.

“Peristiwa bencana dan kerusakan lingkungan hidup, konflik agraria, ketidakadilan dan kemanusiaan yang berakar dari persoalan struktural bukan menjadi rahasia lagi bagi masyarakat luas selama ini. Di Kalimantan Barat misalnya, bencana Banjir di Menjalin yang menewaskan 3 warga awal Desember 2013, Kabut asap pada Februari 2014, kriminalisasi dan tindak penganiayaan oleh aparat terhadap warga Batu Daya di Ketapang, Kalimantan Barat adalah bagian dari persoalan serius yang ada di depan mata akhir-akhir ini” terang Adam.

Adam menambahkan, tindak kekerasan dan intimidasi yang juga dialami petani desa Tegaldowo, Kabupaten Rembang, Jateng yang menolak penambangan Karst dan pembangunan pabrik semen PT. Semen Indonesia guna mempertahankan tempat menggantungkan hidupnya dari tanah dan air di pegunungan Kendeng. Demikian pula kekerasan aparat terhadap kaum tani di Kabupaten Karawang, Jawa Barat yang mempertahankan 350 hektar lahannya dari tindakan eksekusi pengadilan yang memenangkan PT. Sumber Air Mas Pratama – anak perusahaan PT. Agung Podomoro dalam sengketa tanah dengan ratusan petani pemilik lahan. Demikian juga dengan bencana lumpur Lapindo, yang hingga saat ini belum pernah terselesaikan oleh pemerintah rezim saat ini.

“Melalui aksi bersama yang akan dilakukan 5 Juli mendatang, melalui kampanye akbar bersama ini kami berharap agar Pemimpin Indonesia kedepan sungguh memihak dan memiliki komitmen serius memastikan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup. Sebagai bagian dari rakyat, kita berharap tidak ada lagi bencana ekologis yang terus terulang di Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat. Tidak ada lagi tindak kekerasan oleh aparat. Kita berharap negara sungguh hadir sebagai benteng hak asasi manusia,” pungkas Adam.

Peristiwa ketidakadilan dalam tatakelola sumberdaya alam yang menyebabkan lahirnya konflik agraria dimana rakyat pemilik wilayah kelola selanjutnya menjadi korban tentu bukan hal baru. WALHI Kalbar mencatat sedikitnya 465 kasus dan kejadian terkait persoalan lingkungan hidup di Kalimantan Barat dalam rentang waktu 2008, 2011 hingga Juni 2013.

Di Indonesia berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), selama 2013 terdapat 369 kasus agraria yang melibatkan 1.281.660.09 hektar (Ha) lahan dan 139.874 Kepala Keluarga (KK). Konflik tersebut berasal dari berbagai yakni perkebunan sebanyak 180 konflik (48,78%), pembangunan infrastruktur 105 konflik (28,46%), pertambangan 38 konflik (10,3%), kehutanan 31 konflik (8,4%), pesisir/kelautan 9 konflik (2,44%) dan lain-lain 6 konflik (1,63%). Sedangkan catatan HuMa di tahun 2013 terjadi 278 konflik sumber daya alam dan agraria yang berlangsung di 98 kota/kabupaten pada 23 provinsi Indonesia dengan luas area konflik mencapai 2. 416.035 hektar, termasuk di Kalimantan Barat. Adapun pelaku dominan dalam konflik tersebut meliputi; Taman Nasional/Kementrian Kehutanan, Perhutani, PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Perusahaan atau Korporasi, Perusahaan Daerah, dan Instansi lain (TNI). Seringnya tindak kekerasan menempatkan entitas negara sebagai pelanggaran HAM terbesar dengan frekuensi keterlibatan 54%, kemudian institusi bisnis sebanyak 36% dan individual berpengaruh sebanyak 10%.

Selanjutnya berdasarkan tinjauan LH tahun 2014, WALHI mencatat bencana ekologis pada tahun 2013 mengalami lonjakan yang sangat tajam. Jika pada tahun 2012 banjir dan longsor hanya terjadi 475 kali dengan korban jiwa 125 orang, pada 2013 secara kumulatif menjadi 1392 kali atau setara 293 persen. Bencana tersebut telah melanda 6727 desa/kelurahan yang tersebar 2787 kecamatan, 419 kabupaten/kota dan 34 propinsi dan menimbulkan korban jiwa sebesar 565 orang. Di Kalimantan Barat, banjir terparah yang hingga menyebabkan tiga korban jiwa terjadi pada awal Desember 2013 di kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak.

Masih berdasarkan catatan WALHI, sepanjang tahun 2013, korporasi menempati angka tertinggi sebagai aktor/pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup, dengan prosentase 82,5%. Selama kurun waktu 2013 ini, sedikitnya ada 52 perusahaan yang menjadi pelaku berbagai konflik lingkungan, sumber daya alam dan agraria. Angka-angka ini menunjukkan bahwa industri ekstrakif seperti tambang dan perkebunan sawit skala besar merupakan predator puncak ekologis. Kekerasan dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan dan agraria mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2012, ada 147 peristiwa kekerasan dan kriminalisasi dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam, maka tahun 2013 angka ini naik menjadi 227 kasus konflik lingkungan dan SDA.

Selamatkan Rakyat, selamatkan Ekosistem Kalimantan

BEBERAPA hari ke depan, (9/7/2014) warga Indonesia akan memiilih Presiden dan Wakil Presiden untuk masa bhakti 2014 – 2019 . Agenda lima tahunan ini kembali menyita perhatian publik. Visi maupun misi dari dua pasang telah dan terus dibeberkan kepada masyarakat luas melalui berbagai kesempatan.

Pada situasi seperti ini, rakyat penting dididik agar tidak gampang tersulut emosi apalagi sampai melakukan tindakan anarkis – beringas, agar suasana damai dapat diraih. Peran dan panutan kandidat, kaum elitis bersama para pendukung menghadirkan sikap damai & sportif dengan mengedepankan etika politik santun yang bermartabat menjadi sangat penting. Demikian pula negara melalui sejumlah institusinya, juga pihak penyelenggara Pemilu, diharapkan dapat sungguh menjadi penjaga aturan penyelenggaraan prose Pemilu iden & Wakil Presiden agar berjalan baik.

Lebih penting dari hiruk pikuk yang ada, maka Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat dari 40 organisasi terdiri atas sejumlah elemen CSO, organisasi mahasiswa dan komunitas memandang bahwa meletakkan kepentingan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup sebagai pusat perhatian serius dari capaian akhir dari proses Pemilu Presiden & Wakil Presiden 9 Juli penting sungguh menjadi perhatian serius.

“Keselamatan rakyat dan lingkungan hidup harus mendapat perhatian serius karena hak ikat proses demokrasi yang sedang berlangsung khususnya melalui Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sesungguhnya bermuara pada kepentingan rakyat. Untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Maka orientasi kepentingan keselamatan manusia dan lingkungannya penting menjadi perhatian serius Presiden mendatang, ”jelas Hendrikus Adam, koordinator aksi.

Kegiatan yang dirangkai dengan sejumlah kegiatan kampanye penyelamatan lingkungan hidup melalui orasi, pembentangan dan penandatangan spanduk 30 meter, poster, pembagian selebaran, aksi teaterikal dan akan diakhiri dengan buka puasa bersama di Bundaran Untan, Pontianak.

“Peristiwa bencana dan kerusakan lingkungan hidup, konflik agraria, ketidakadilan dan kemanusiaan yang berakar dari persoalan struktural bukan menjadi rahasia lagi bagi masyarakat luas selama ini.

Di Kalimantan Barat misalnya, bencana Banjir di Menjalin yang menewaskan 3 warga awal Desember 2013, Kabut asap pada Februari 2014, kriminalisasi dan tindak penganiayaan oleh aparat terhadap warga Batu Daya di Ketapang, Kalimantan Barat adalah bagian dari persoalan serius yang ada di depan mata akhir - akhir ini” tambah Adam.

Adam menambahkan, tindak kekerasan dan intimidasi yang juga dialami petani desa Tegaldowo, Kabupaten Rembang, Jateng yang menolak penambangan Karst dan pembangunan pabrik semen PT. Semen Indonesia guna mempertahankan tempat menggantungkan hidupnya dari tanah dan air di pegunungan Kendeng. Demikian pula kekerasan aparat terhadap kaum tani di Kabupaten Karawang, Jawa Barat yang mempertahankan 350 hektar lahannya dari tindakan eksekusi pengadilan yang memenangkan PT. Sumber Air Mas Pratama – anak perusahaan PT. Agung Podomoro dalam sengketa tanah dengan ratusan petani pemilik lahan. Demikian juga dengan bencana lumpur Lapindo, yang hingga saat ini belum pernah terselesaikan oleh pemerintah rezim saat ini.

“Melalui aksi akbar bersama ini, kami berharap agar Pemimpin Indonesia kedepan sungguh memihak dan memiliki komitmen serius memastikan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup. Sebagai bagian dari rakyat, kita berharap tidak ada lagi bencana ekologis yang terus terulang di Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat. Tidak ada lagi tindak kekerasan oleh aparat. Kita berharap negara sungguh hadir sebagai benteng hak asasi manusia,” tambah, Ahmad Asmungin, Humas aksi.

Asmungin menambahkan bahwa peristiwa ketidakadilan dalam tatakelola sumberdaya alam yang menyebabkan lahirnya konflik agraria dimana rakyat pemilik wilayah kelola selanjutnya menjadi korban tentu bukan hal baru. “Kami berharap negara sungguh menjamin penghormatan, perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi warga Indonesia, ”tambah Asmungin.

Dalam aksi ini, gerakan lingkungan hidup Kalimantan Barat yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil menegaskan tuntutan kepada Presiden terpilih 2014 untuk menyelamatkan rakyat dan lingkungan hidup. Berikut merupakan sejumlah tuntutan yang disampaikan;

(1) Negara sungguh – sungguh menjamin penghormatan, perlindungan, penegakkan dan pemajuan hak asasi warga negara Indonesia,

(2) Tidak menempatkan aparat sebagai alat kepentingan pemodal yang melakukan tindakan represif kepada rakyat untuk mempertahankan hak hidupnya,

(3) Lebih mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan korporasi atas dasar keadilan dan kemanusiaan dengan memastikan penataan ulang relasi negara, modal & Rakyat,

(4) Menyediakan ruang hidup yang seluas - luasnya kepada rakyat Indonesia serta memelihara keberlanjutan Lingkungan Hidup,






(5) Mengesahkan RUU Pengakuan & Perlindungan Hak – hak Masyarakat Adat,
 
(6) Menyelesaikan konflik Agraria & Lingkungan Hidup secara tuntas dengan mengedepankan rasa keadilan dan kemanusiaan,

(7) Memulihkan kerusakan ekologis sebagai akibat kebijakan industri ekstraktif berbasis hutan dan lahan yang eksploitatif,

(8) Menghentikan usaha kehutanan, pertambangan dan perkebunan yang merusak, mengabaikan daya dukung lingkungan dan tidak membela kepentingan rakyat, 

(9) Mewujudkan pemenuhan dan perbaikan infrastruktur yang memihak kepentingan rakyat Indonesia dan lingkungan hidup secara berkeadilan khususnya di Kalimantan Barat.


Anton P. Widjaya, Direktur WALHI Kalimantan Barat meminta Presiden mendatang memastikan keberpihakan dalam penyelamatan rakyat dan lingkungan hidup dengan sungguh memperhatikan tuntutan yang disampaikan. “Di Kalbar kami mencatat sedikitnya 465 kasus dan kejadian terkait persoalan lingkungan hidup dalam rentang waktu 2008, 2011 hingga Juni 2013, ” tambahnya.

Anton menambahkan berdasarkan tinjauan WALHI LH tahun 2014 di Indonesia, mencatat bencana ekologis pada tahun 2013 mengalami lonjakan yang sangat tajam. Jika pada tahun 2012 banjir dan longsor hanya terjadi 475 kali dengan korban jiwa 125 orang, pada 2013 secara kumulatif menjadi 1392 kali atau setara 293 persen. Bencana tersebut telah melanda 6.727 desa/keluarah yang tersebar 2787 kecamatan, 419 kabupaten/kota dan 34 propinsi dan menimbulkan korban jiwa sebanyak 565 orang.

“Di Kalimantan Barat, banjir terparah yang hingga menyebabkan tiga korban jiwa terjadi pada awal Desember 2013 di kecamatan Menjalin, Kalimantan Barat ” terang Anton.

Anton menambahkan massifnya izin bagi korporasi industri ekstraktif di Kalimantan Barat memperlihatkan ketimpangan luar biasa atas pemanfaatan sumber daya alam. Dalam hal ini luasan ijin tidak sebanding dengan luasan wilayah kelola masyarakat yang pada akhirnya juga berpotensi melahirkan pelanggaran & perampasan tanah yang begitu nyata terus terjadi.

“Kian kecilnya ruang hidup dan semakin luasnya eksploitasi berdampak pada kerusakan lingkungan yang kemudian jelas melanggar penghormatan dan perlindungan serta menghambat pemenuhan Hak Asasi Manusia. Pada sisi yang lain, kebijakan pengembangan izin bagi korporasi penting dievaluasi serta dihentikan sembari melakukan audit maupun penyelesaian serta pemulihan atas persoalan agraria utamanya terkait keselamatan manusia dan lingkungan hidup, ” terang Anton.

Sebagaimana diketahui luas izin konsesi perusahaan masing - masing mencapai; 378 izin perkebunan kelapa sawit seluas 4.962,022 ha, 721 izin pertambangan dengan seluas 5.074,338 ha dan 76 IUPHHK seluas 3.611,721 ha dengan luas keseluruhan mencapai 13,648,081 ha.

Masih berdasarkan catatan WALHI, sepanjang tahun 2013, korporasi menempati angka tertinggi sebagai aktor/pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup, dengan prosentase 82,5%. Selama kurun waktu 2013 ini, sedikitnya ada 52 perusahaan yang menjadi pelaku berbagai konflik lingkungan, sumber daya alam dan agraria.

Angka - angka ini menunjukkan bahwa industri ekstrakif seperti tambang dan perkebunan sawit skala besar merupakan predator puncak ekologis. Kekerasan dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan dan agraria mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2012, ada 147 peristiwa kekerasan dan kriminalisasi dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam, maka tahun 2013 angka ini naik menjadi 227 kasus konflik lingkungan dan SDA.

Sedangkan berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), selama 2013 terdapat 369 kasus agraria yang melibatkan 1.281.660.09 hektar (Ha) lahan dan 139.874 Kepala Keluarga (KK). Konflik tersebut berasal dari berbagai yakni perkebunan sebanyak 180 konflik (48,78%), pembangunan infrastruktur 105 konflik (28,46%), pertambangan 38 konflik (10,3%), kehutanan 31 konflik (8,4%), pesisir/kelautan 9 konflik (2,44%) dan lain - lain 6 konflik (1,63%).

Selanjutnya catatan HuMa di tahun 2013 terjadi 278 konflik sumber daya alam dan agraria yang berlangsung di 98 kota/kabupaten pada 23 provinsi Indonesia dengan luas area konflik mencapai 2. 416.035 hektar, termasuk di Kalimantan Barat. Adapun pelaku dominan dalam konflik tersebut meliputi; Taman Nasional/Kementrian Kehutanan, Perhutani, PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Perusahaan atau Korporasi, Perusahaan Daerah, dan Instansi lain (TNI). Seringnya tindak kekerasan menempatkan entitas negara sebagai pelanggaran HAM terbesar dengan frekuensi keterlibatan 54%, kemudian institusi bisnis sebanyak 36% dan individual berpengaruh sebanyak 10%.