Sabtu, 31 Mei 2014

“Konsolidasi WALHI se-Kalimantan Menghadapi Pemerintahan Baru Mendatang”

Kalimantan dan Darurat Pengelolaan Lingkungan 

Kalimantan adalah nama bagian wilayah Indonesia di Pulau Borneo Besar yaitu pulau terbesar ketiga di dunia setelah Greenland dan Seluruh Pulau Irian diamana wilayah Kalimantan meliputi 73 % massa daratan pulau Borneo. Wilayah Kalimantan ini memiliki total luasan mencapai 549.032 km2 yang merupakan 28 % dari total daratan Indonesia. 

Luasan pulau Borneo yang begitu besar dengan kandungan sumberdaya alamnya yang melimpah seperti hutan, pertambangan, perairan dan energi menjadikan wilayah ini sasaran investasi industri ekstraktif untuk di keruk. Padahal sumberdaya bioregional Borneo ini adalah bagian‐bagian yang terdiri dari hutan pegunungan, daerah aliran sungai, rawa gambut, danau‐danau sampai pesisir pantai dan dasar laut adalah merupakan satu kesatuan ekosistem yang saling berkaitan dan menghubungkan antara kehidupan manusia dan sumberdaya alam serta sosio-cultural yang tidak bisa terpisahkan. 

Masuknya investasi yang didukung oleh kebijakan yang kapitalistik dimana sumberdaya alam dipandang sebagai sumber ekonomi untuk di eksploitasi dan dikeruk habis dalam memenuhi kebutuhan pasar komoditas mengakibatkan ancaman serius bagi wilayah-wilayah kelola rakyat dengan praktek keberlanjutan berdasarkan kearifan lokal dengan kerja kolektif dan komunal untuk pemenuhan ekonomi subsistem dan keberlanjutan penghidupan rakyat di sekitarnya melalui jasa layanan alam. 

Investasi besar ini menggunakan skema pengusaan lahan yang luas disertai praktek yang merusak, merampas tanah rakyat, mencemari lingkungan dan melakukan pelanggaran hukum menjadi skema yang selama ini dijalankan untuk mengakumulasi modalnya. 

Saat ini investasi modal dengan komoditas tambang, perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) dan logging konsensi (HPH) telah menguasai sebagian besar wilayah di Kalimantan, fakta penguasaan ini bisa dilihat dari perijinan; Kalimantan Selatan yang memiliki luasan 3,7 juta hektar dimana 2,3 juta hektar telah di kuasai oleh investasi, begitu juga di Kalimantan Barat yang memiliki daratan seluas 14,7 juta hektar dimana pengusaan investasi mencapai 13,6 juta hektar, sedangkan Kalimantan Tengah yang luas daratannya mencapai 15,3 juta hektar dan penguasaan investasi mencapai 12, 8 juta hektar sudah di kuasai oleh investasi, dan yang paling mengejutkan bahwa Kalimantan Timur yang memiliki luasan 19,6 juta hektar luasan ijin telah melebihi luas wilayahnya hingga mencapai 21,7 juta hektar. 

Kondisi ini menunjukan Kalimantan merupakan pulau yang saat ini sedang dan terus dikeruk oleh industri ektraktif yang telah merampas dan mengancam wilayah kelola rakyat dan aset produksi yang berkelanjutan yang menjadi sumber penghidupan dan kawasan ekologi genting seperti dataran tinggi yang merupakan sumber tangkapan air (cathment area) dan mengkonversi lahan gambut yang akan menghilangkan kandungan karbon yang juga salah satu penyumbang terbesar pada gas rumah kaca yang mempengaruhi iklim global dan mengancam keselamatan warga. 

Momentum Politik 

Tahun 2014, adalah tahun politik, seperti yang di ketahui bahwa beberapa waktu yang lalu, rakyat telah menggunakan hak pilihnya untuk menentukan siapa saja yang akan duduk di lembaga legislative, dari daerah sampai dengan pusat. Sejurus itu, pada Juli 2014 mendatang, rakyat kembali akan dihadapkan pada momentum pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. 

Sejak reformasi tahun 1998, organisasi masyarakat sipil terus berupaya secara bersama-sama dengan rakyat menuju cita-cita perubahan social. Tetapi hal demikian belumlah menampakkan hasil yang signifikan, dalam kurun waktu demikian panjang, secara khusus Isu Lingkungan masih menjadi isu “kelas dua” dan bukanlah menjadi satu persoalan yang sesungguhnya menjadi bagian utama di republik ini. Dalam upaya berkepanjangan, sejak WALHI mengusulkan TAP MPR No. IX tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang tidak juga ditetapkan pemerintah, kerusakan ecology secara bergelombang terus melaju tinggi. Hal ini tidak juga mendapat tempat dan menjadi perhatian yang serius dalam tata kelola pemerintahan. 

Pada tahun 2008, WALHI secara nasional meluncurkan kampaye Restorasi Ekologi, yang pada pertengahan 2010 disambut dengan kampanye nasional Pulihkan Indonesia, Utamakan Keselamatan Rakyat. Hal ini tidak terlepas dari satu kenyataan bahwa laju kerusakan ecology tidak hanya pada tingkat sederhana, tapi sudah masuk pada darurat ecology. Catatan WALHI sejak 2011-2013, persentase kerusakan lingkungan melonjak 300%, angka fantastis yang belum pernah tercatat sebelumnya, dengan demikian tepatlah jika pada awal 2012, WALHI menegaskan untuk Bersihkan Pemerintah dan Parlemen Perusak Lingkungan. 

Memeriksa dan menilai progress tersebut, WALHI sebagai organisasi lingkungan hidup dan HAM terbesar di Indonesia, senantiasa mengingatkan dan mendesak pemerintah untuk segera melakukan serangkaian tindakan sistematis demi penyelamatan lingkungan hidup. Pemerintah haruslah menjadi garda terdepan untuk membela kepentingan rakyat luas, memastikan keselamatan rakyat dan keadilan ekologis, sudah tentu WALHI sebagai organisasi masyarakat sipil turut serta dalam aksi-aksi penyelamatan lingkungan secara massif tersebut. 

Isu Lingkungan Hidup adalah Utama 

Siapa menguasai tanah dan sumber daya alam, maka dia menguasai dunia; kalimat ini bukanlah satu kalimat yang mengada-ada, tetapi kalimat ini sesungguhnya sebuah peringatan keras bagaimana selayaknya kekayaan alam haruslah untuk kemakmuran rakyat, sepenuhnya. Oleh karena demikian itu, maka pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup haruslah diutamakan. 

Indonesia, sebagai satu negara bangsa yang sebagian besar hajat hidup rakyatnya disandarkan pada sumber-sumber agraria, hari ini telah menemukan keadaan yang sangat menyengsarakan. Perkebunan skala besar, pertambangan, produksi migas dan energy telah menggeser peri kehidupan rakyat ke dalam titik yang menakutkan. Hal ini tidak lepas dari satu kongsi jahat antara pemerintah dan pemegang modal. WALHI menegaskan; untuk pemerintahan baru kedepan harus segera melakukan satu pemeriksaan secara menyeluruh serta komprehensif terhadap kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat dan Negara. Pemeriksaan ulang izin-izin untuk perusahaan keruk dan rakus lahan harus menjadi sasaran utama. 

WALHI berpandangan, simpang siurnya penyelesaian konflik agraria dan lingkungan secara khusus, antara pemerintah dan rakyat, rakyat dan pengusaha yang semakin subur, satu Badan Khusus sebagai satu kelembagaan penyelesaian konflik harus segera didirikan, sehingga kanalisasi semua persoalan dapat dilakukan secara cepat dan menemukan jalan keluar yang baik. Maka dengan demikian, pemerintah juga harus melakukan satu penguatan khusus pada lembaga Negara yang menangani persoalan lingkungan hidup, tentu juga satu pengadilan lingkungan hidup menjadi hal yang penting, sehingga kriminalisasi rakyat bisa di hentikan. 

Tata kelola dan sumber-sumber kehidupan rakyat yang berkeadilan haruslah menjadi tanggung jawab Negara sepenuhnya, kebijakan pemerintah haruslah berorientasi pada perlindungan untuk rakyat dan pemerintahan kedepan haruslah mengakomodir dan memfasilitasi rakyat terhadap wilayah kelola serta sumber-sumber kehidupannya. 

Sebagai penutup, Negara-negara utara, yang tergabung dalam kelompok Negara kelas satu telah menciptakan berbagai hal atas nama perubahan dan pembangunan kemanusiaan. Inisiatif pembangunan millennium dan berkelanjutan sesungguhnya menuai protes secara global, karena penuh rekayasa dan hanya mementingkan kepentingan dalam negeri dan nasional mereka. Perubahan iklim adalah juga satu ancaman nyata bagi kelangsungan hidup umat manusia diatas planet bumi. Satu keniscayaan bahwa kerakusan manusia atas manusia dan kejahatan lingkungan secara terus menerus akan berdampak buruk pada generasi mendatang. Momentum 2014 ini, adalah satu awal bagi pemerintahan kedepan untuk mengeluarkan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan tentang iklim yang komprehensif, detail dan bertanggung jawab.#

Selasa, 20 Mei 2014

Jangan ada Pembungkaman Kebebasan Berpendapat

Sejak didirikan tanggal 14 Mei 2014 dan baru diketahui raib pada 15 Mei 2014 pagi, tenda "Posko untuk Keadilan dan Kemanusiaan" yang didirikan oleh gabungan organisasi masyarakat sipil, organisasi mahasiswa, warga dan individu yang tergabung dalam "Gerakan Masyarakat untuk Pembebasan warga Korban Kriminalisasi" hingga kini (Minggu, 18/5) tanpa kabar. 

Kejadian tersebut tentu sangat kami sayangkan. Apalagi hilangnya tenda tersebut berseberangan dengan pos jaga Polisi di kawasan Bundaran Untan. Bahkan sebelum pendirian tenda, kami telah menyurati pihak kepolisian dan bahkan sempat berdialog hingga terjadi kesepahaman bersama. 

Pendirian tenda "Posko untuk Keadilan dan Kemanusiaan" didasari atas niat baik sebagai bentuk solidaritas terhadap persoalan ketidakadilan yang menciderai rasa kemanusiaan atas kasus penangkapan paksa dengan cara-cara kekerasan dan bahkan ancaman terhadap warga desa Batu Daya saat itu. 

Pendirian posko dimaksudkan sebagai ruang segenap organisasi yang tergabung di dalamnya untuk berkumpul dan mempromosikan pentingnya penegakan keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dimana negara memiliki kewajiban asasi. 

Kami berharap agar ada tindakan pengusutan oleh berbagai pihak tempat kami menyampaikan laporan atas raibnya tenda posko beberapa waktu lalu. Kami percaya yang membongkarnya bukanlah saudara kita pemulung, karena kami sangat percaya mereka lebih punya hati dan pikiran yang baik. Tentu ada pihak yang tidak menginginkan usaha yang kami lakukan untuk mempromosikan keadilan dan kemanusiaan. Karenanya, kami berharap agar jangan ada pembungkaman atas kebebasan berpendapat sebagaimana telah tegas dijamin dalam konstitusi republik ini. Kami juga berharap agar lembaga komisioner seperti Komnas HAM dengan dukungan segenap rakyat menjadi benteng dalam perlawanan terhadap upaya pembungkaman kebebasan berpendapat di muka umum. Kami juga berharap ada keterbukaan dari berbagai pihak, khususnya pihak terkait bila memang mengetahui dan atau melakukan pembongkaran atas keberadaan material tenda posko yang kami dirikan. 

Sebagaimana diketahui bahwa, pasca penangkapan paksa atas lima warga Desa Batu Daya dan dua diantara warga masih mendekam di Rutan Polda Kalbar. Kejadian penangkapan paksa 5 Mei 2014 lalu menyisakan persoalan bagi warga terutama rasa trauma yang mendalam terutama bagi anak-anak usia sekolah yang saat itu menyaksikan langsung peristiwa kekerasan dan penangkapan paksa. Juga menyaksikan langsung dentuman senapan yang digunakan aparat kepolisian saat itu. Beberapa diantara anak-anak trauma dan mengalami demam. 

Penangkapan warga Desa Batu Daya sendiri berawal dari terjadinya bentrok di Camp PT. Swadaya Mukti Prakarsa (SMP)/First Resources antara warga dengan pihak Brimob yang sejalk awal menjaga kawasan sekitar perusahaan saat itu. Warga bermaksud mempertanyakan kewajiban perusahaan untuk pemenuhan hak mereka kepada pimpinan managemen perusahaan yang tak kunjung ada kejelasan namun dihadang oleh pihak security dan pihak kepolisian sehingga satu diantara warga yang juga Kades Batu Daya disekap dan mengalami babak belur. Sedangkan salah seorang oknum polisi saat itu lecet di bagian keningnya akibat lemparan benda keras. Atas kejadian ini, warga kemudian di tangkap.

Senin, 05 Mei 2014

TOLAK KEKERASAN TERHADAP JURNALIS

Hari Pers Internasional (World Press Freedom Day) yang jatuh setiap 3 Mei menjadi momen peringatan wartawan di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Apalagi, penuntasan berbagai kasus kekerasan yang menimpa wartawan di Indonesia, hingga kini belum juga menemui titik terang. 

Sejak runtuhnya rezim orde baru, kebebasan pers dimulai pada periode ini dengan dibentuknya Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun, regulasi yang jelas ternyata tak menjamin adanya perlindungan dan kebebasan terhadap jurnalis. Sejumlah kekerasan fisik kerap dialami awak pers tanpa adanya kejelasan penyelesaian kasus, seperti naik ke meja hijau atau persidangan. 

Berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum Pers jumlah kasus kekerasan yang dialami jurnalis pada 2013 sebanyak 50 kasus, yang meliputi ancaman atau teror, pengusiran dan larangan peliputan, serangan fisik, sensor, tuntutan/ gugatan hukum, regulasi, demonstrasi dan pengerahan massa, perusakan kantor serta perusakan alat. 

Maraknya kekerasan menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap jurnalis, terutama mereka yang bekerja di wilayah konflik dan rawan. Beberapa titik kelemahan tersebut adalah perlindungan yang minim dari media tempat jurnalis bekerja, adanya kelemahan perlindungan dari pemerintah seperti impunitas atau pembiaran pelaku kejahatan dari tanggung jawab hukum menjadi penyebab meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis. 

Hanya sebagian kecil kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis yang kemudian diusut dan diadili. Di samping itu, hingga saat ini pemerintah khususnya aparat Kepolisian masih memiliki utang yang belum terbayarkan yakni mengusut tuntas dan membawa para pelaku pembunuh jurnalis khususnya kasus pembunuhan terhadap jurnalis Bernas Yogya, Fuad Muhammad Sjafruddin yang sangat mendesak karena akan kadaluarsa pada Agustus 2014. 

Selain itu, tak sedikit jurnalis yang bekerja tidak sesuai kode etik jurnalistik sehingga kerap menjadi persoalan atas pemberitaan. Bahkan, kasus kekerasan yang dialami oleh jurnalistik justru berujung dengan perdamaian dengan cara penawaran pemasangan iklan oleh pelaku kekerasan di media yang bersangkutan. 

Selanjutnya, untuk lembaga penegak hukum seperti hakim, polisi, jasa dan advokat diharapkan dapat melakukan proses hukum terhadap tindak kekerasan terhadap jurnalis, menggunakan UU Pers dalam menyelesaikan masalah pers dan melaksanakan nota kesepahaman antara Polri dan dewan pers, dalam penegakan hukum dan perlindungan kebebasan pers. 

Pekerja pers juga diharapkan dapat memaksimalkan peran strategis media dalam pemberantasan korupsi, melakukan sosialisasi UU Pers, meningkatkan profesionalisme dalam melaksanakan kerja jurnalistik, menulis dengan dasar KEJ dan UU Pers 1999, melaksanakan peran dan fungsi pers dengan melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum serta melakukan konsolidasi untuk melawan setiap kekerasan terhadap jurnalis dan kebijakan yang mengancam kebebasan pers. 

Sementara AJI Jakarta mencatat sedikitnya ada delapan kasus pembunuhan jurnalis sejak tahun 1996 sampai sekarang yang belum diselesaikan secara tuntas. Nama para jurnalis yang menjadi korban yaitu Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin dari harian Bernas, Naimullah jurnalis Sinar Pagi dan Agus Mulyawan jurnalis Asia Press. Selanjutnya, Ersa Siregar jurnalis RCTI, Herliyanto jurnalis Delta Pos, Adriansyah Matrais Wibisono jurnalis TV lokal di Merauke dan Alfred Mirulewan jurnalis tabloid Pelangi. 

Sayangnya, setiap laporan kasus kekerasan terhadap jurnalis sejak tahun 1996 banyak yang tidak ditindaklanjuti kepolisian. Sehingga terkesan ada pembiaran dan menciptakan impunitas hukum bagi para pelaku. 

KEKERASAN WARTAWAN BISA DIMINIMALISASIR JIKA SAJA : 

• Pihak yang berkonflik memegang teguh undang - undang pers dan kode etik jurnalistik. 
• Memahami fungsi dan tugas wartawan sebagai penyampai berita dalam rangka memenuhi keingintahuan   publik. 
• Melalui mekanisme yang sudah ditetapkan. Jika jalur di media, gunakan hak jawab, ralat, dan sebagainya. Jika melalui jalur Dewan Pers, bisa melalui mediasi, rekonsiliasi dan sebagainya. 
• Wartawan memegang teguh kode etik jurnalistik untuk meminimalkan konflik terusan akibat pemberitaan yang dilaporkan 

Berangkat dari itulah, dalam rangka Peringatan Hari Pers Internasional yang akan digelar di Bundaran Digulis Pontianak pada Sabtu, 3 Mei 2014, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pontianak menyerukan : 

1. Menolak setiap aksi kekerasan terhadap jurnalis 
2. Usut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis Kalbar, antara lain : kasus pemukulan terhadap wartawan Metro Pontianak, Arief Nugroho dan wartawan Metro TV, Faisal pada 13 Maret 2010 yang dilakukan oleh oknum mahasiswa Fakultas Teknik Untan, dan kasus-kasus lain. 
3. Stop mempekerjakan jurnalis tanpa kontrak yang jelas dan perjelas status kontributor atau stringer 
4. Tingkatkan kesejahteraan jurnalis dengan memberikan upah layak dan berbagai tunjangan lain. 
5. Usut kasus pembunuhan wartawan Udin Bernas yang hingga kini belum tuntas. 
6. Selesaikan sengketa jurnalistik dengan menggunakan Undang-Undang Pers.