Meniti SEJARAH, Mengayuh KENANGAN

Beberapa tahun belakangan khususnya di kota Pontianak, muncul komunitas baru yang unik dan juga nyentrik. Mereka adalah para penggemar sepeda onthel atau onta “sepeda antik tempo doeloe” yang kerap melintasi jalan – jalan di kota. Kehadiran mereka yang mengayuh sepeda dengan konstruksi unik, selalu menjadi pusat perhatian. Mulai dari sepeda, pakaian dan juga topi bukyuk ( helm para mandor perkebunan di masa kolonial). Di kota Pontianak, para onthelis ini tergabung dalam suatu paguyuban yakni SPOK ( sepeda onthel kalimantan barat ), yang didirikan 12 januari 2008. Sedangkat di tingkat nasional SPOK masuk dalam wadah KOSTI (Komunitas Sepeda Tua) yang berpusat di ibukota Jakarta. Untuk mengatur organisasi, SPOK mendirikan sekretariat di jalan Sumatra no 6 – 7 kota Pontianak. 
Saat ini jumlah anggota mencapai 200 orang, yang berasal dari berbagai strata sosial. Kegiatan utamanya bersepeda bersama, konvoi mengelilingi kawasan tertentu.Kini banyak orang menggandrungi sepeda ontel, baik karena orisinalitas sepeda, modifikasi serta keindahannya, termasuk di dalamnya nilai historis serta keantikan model sepeda tersebut. Bahkan` sebagian onthelis menilai, sepeda ontel memiliki aura luar biasa. Seperti diakui Jayus Agustono (Ketua SPOK Pontianak) sepeda onthel ibarat magnet yang memiliki energi pengikat, sehingga tidak pernah bosan memandangnya``. Keunikan lain ditemukan pada diri masing – masing onthelis. Mereka memiliki ciri khas yang berbeda dibanding para. Saat beraksi di jalanan, mereka tidak mengenakan pakaian olah raga, helm, atau pelindung badan seperti atlit sepeda. Setiap onthelis tampil beda, dengan keunikan masing – masing. Mulai dari pakaian maupun berbagai atribut uniknya. Yang teranyar adalah penampilan SPOK dalam festival budaya bumi khatulistiwa – FBBK ke VIII, dimana puluhan onthelis melintasi sejumlah ruas jalan di kota Pontianak mengenakan pakaian yang sangat unik. Ada yang memakai seragam kompeni, pakaian perang, batik lurik lengkap dengan belangkon ala priyayi Jawa, pakaian petani, dan juga pandu (pramuka zaman dulu).
Jayus mengatakan selain di kota Pontianak, di sejumlah daerah di Kalbar juga ada perkumpulan SPOK. Dan mereka selalu saling kontak dan kadangkala juga berkumpul bersama, saling tukar pengalamn dan berbagi informasi, tentunya menyangkut onthel. Misi spok adalah menjaga kelestarian sejarah mengingat sepeda onthel merupakan asset, yang hingga kini belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Selain itu mereka juga mencoba melepas image yang melekat selama ini, bahwa sepeda dicap sebagai `kendaraan kelas bawah’. Padahal bagi lingkungan, di samping mengurangi polusi, bersepeda juga mengatasi kemacetan jalan, dan otomatis menurunkan angka kecelakaan lalu lintas. Seandainya terjadi insiden pun, resikonya tidaklah separah tabrakan menggunakan kendaraan bermotor. Mengingat kecepatan sepeda onthel hanya 3 Km/jam. Tidak perlu banyak modal untuk sehat, ``dengan bersepeda juga bisa ``tambah Jayus, tapi jika memiliki dana atau kebetulan memiliki sepeda tua, silahkan bergabung dalam SPOK. Selain menyehatkan, juga membudayakan bersepeda. Bahkan jika dikelola dengan secara professional, onthel dapat menjadi salah satu asset wisata di kota Pontianak, ujar Jayus. Jayus Agustono mengatakan selain menggelar acara komunitas, SPOK juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Diantaranya tabur bunga di makam pahlawan Eka Patria Jaya di Sungai Raya, berkunjung ke istana Qadriyah. Terakhir, mengumpulkan dana bagi korban gempa bumi di Sumatera Barat. Bahkan setiap Hari Raya Idul Fitri para anggota SPOK selalu memberikan bingkisan lebaran kepada anak – anak yatim piatu.
Untuk mendapatkan sepeda onthel, gampang – gampang susah,kata Suryo Wijoyanto ( Kepala Bidang Pengembangan SDM SPOK kota Pontianak. Namun yang jelas tidak semudah yang kita inginkan, misalnya ada uang ada barang. Suryo menyebutkan kini mengoleksi 3 unit sepeda onthel, yang pertama merupakan warisan dari sang kakek, yang kedua buatan AS, yang harganya sama dengan 1 unit sepeda motor baru. Sedangkan yang ketiga buatan Inggris hadiah dari istri tercinta. 
Di mata kolektor, Suryo bertutur ``sepeda ontel memiliki nilai historis tinggi``. Jadi wajar saja kalau para pemburu sepeda klasik ini, berani merogoh kocek hingga puluhan juta rupiah, demi mendapatkan sepeda yang kian langka ini. Bahkan` saking langkanya, perburuan pun dilakukan hingga ke pulau Jawa. Saat ini onthel yang dikoleksi anggota SPOK terdiri dari berbagai merk, antara lain Gazelle, Simplex, Triumph, Locomotief, dan BSA yang diproduksi sejak 1910-an. Malah, ada juga sepeda yang tidak memiliki rantai roda tapi masih menggunakan gardan (alat pemutar roda yang saat ini digunakan di mesin mobil). Lisensi sepeda itu pun berasal dari berbagai negara diantaranya Belanda, Inggris, Amerika, dan Jerman. Menurut Suryo, sepeda onthel asal Inggris paling banyak beredar di kota Pontianak. Sebab, sepeda tersebut masuk ke wilayah Indonesia melalui Singapura. Berbeda dengan di Jawa, kalau di sana dominan produksi Belanda, imbuh Suryo. Pasalnya sepeda tersebut, dikhususkan bagi sarana transportasi para mandor perkebunan.
Mengenai harga, seperti rangka, atau spare part misalnya spatbor, dan stang, yang merupakan komponen utama, jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga komponen sepeda yang umum dipakai sekarang. Kendati demikian, umumnya para anggota jika kebetulan perlu salah satu komponen, lebih banyak mendapatkannya dari sesama anggota komunitas. Kendati ada juga yang harus pesan dulu dari pulau Jawa. Untuk bengkel khusus onthel, Suryo menyebutkan ada beberapa lokasi, diantarnya 1 bengkel di Sungai Raya kabupaten Kubu Raya dan 3 bengkel di kota Pontianak. Sebenarnya tidak ada aturan khusus mengenai harga sepeda onthel. Semuanya berjalan otomatis kata Suryo. Semakin orisinil, semakin lawas, dan jika dirakit dalam jumlah terbatas, harganya semakin mahal, dan itu bisa mencapai jutaan hingga puluhan juta rupiah.
Jayus dan Suryo kini tengah menyusun program untuk kegiatan tahun depan, salah satu yang mendapat dukungan dari para anggota adalah ``kembali bersepeda ke sekolah``. Rencananya kampanye diarahkan pada segmen remaja, dengan target para pelajar SLTP. Suryo merindukan suasana seperti masa lalu, dimana para pelajar berangkat ke sekolah dengan mengayuh sepeda. Apalagi pelajar sekarang yang sebagian besar diantaranya mengendarai sepeda motor, ditinjau dari segi usia jelas belum layak mendapatkan SIM, dan cenderung ugal – ugalan di jalan raya. 
Disamping hal itu, keduanya juga memiliki obsesi yang hingga kini belum terealisasi, yakni adanya jalur khusus bagi pengendara sepeda. Paling tidak ada satu ruas jalan di kota ini, memang dibuat khusus bagi para pengendara sepeda. Obsesi lain` dan ini yang paling sulit, namun merupakan tantangan bagi mereka, yakni mencontoh kebijakan walikota Jogjakarta, yang mengajak seluruh masyarakat khususnya para PNS, untuk berangkat kerja pada hari Jum`at dengan mengayuh sepeda.