Kasus RAWAGEDE menginspirasi korban tragedi MANDOR

Putusan Pengadilan Sipil Den Haag Belanda Rabu (14/09/11), yang memenangkan gugatan 9 janda korban pembantaian pasukan Belanda di Rawagede Jabar 9 Desember 1947 silam, mengilhami Ketua Majelis Kerajaan se-Kalbar Gusti Suryansyah, untuk melakukan hal serupa, yakni mengadukan kasus pembantaian tentara Jepang di Mandor (saat ini Kecamatan di Kabupaten Landak) 28 Juni 1944 ke Mahkamah Internasional. Mengingat kasus di Rawagede memiliki kesamaan dengan tragedi Mandor, yakni adanya pembunuhan massal secara keji, sehingga layak diajukan sebagai kejahatan perang. Bahkan, dari jumlah korban jiwa, peristiwa Mandor jauh lebih besar yakni mencapai 21.037 jiwa. (perkiraan korban tewas di Rawagede antara 150 – 430 jiwa). 
Ditemui Minggu (18/09/11), Gusti Suryansyah menyatakan, bahwa kasus Mandor dapat diangkat dan dibawa ke Mahkamah Internasional, untuk menuntut Jepang atas kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Mandor. Apalagi korban jiwa terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, yang berdampak lenyapnya satu generasi di Kalbar. Menurutnya, saat ini adalah momen yang tepat bagi para ahli waris korban Mandor, melakukan konsolidasi dan mengorganisir diri, untuk mengikuti jejak para korban Rawagede yang berhasil memenangkan gugatan dan mendapat kompensasi melalui pengadilan. 
Tetapi yang terpenting dari semua itu adalah, adanya pengakuan Jepang di dunia internasional, bahwa mereka telah melakukan genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan selama masa pendudukan di Kalbar antara tahun 1942 – 1945. 
Gusti menambahkan, dalam waktu dekat Majelis Kerajaan se-Kalbar akan mengundang seluruh Raja se-Kalbar dan para ahli waris korban tragedi Mandor, untuk membicarakan kemungkinan membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional. Tapi, pihaknya tentu tidak akan gegabah dalam mengindentifikasi para korban, mengingat korban jiwa di Mandor diperkirakan baru sepertiga dari total korban pembantaian tentara Jepang di Kalbar. Belum lagi, wanita yang dipaksa menjadi PSK atau Jugun Ianfu. Mengingat hal ini menuntut perjuangan keras, tentunya perlu dukungan semua pihak. Jadi bukan hanya dibebankan pada para ahli waris korban. Terlebih Pemerintah Daerah, diharapkan juga mengambil sikap dengan memfasilitasi upaya untuk membawa kasus Mandor ke Mahkamah Internasional. 
Hal senada juga diungkapkan pengurus Tibune Institute, Nur Iskandar, bahwa hal ini bisa dilakukan. Apalagi peristiwa Mandor jauh lebih besar, lebih sadis dan lebih tragis, bahkan hingga kini masih menyisakan luka sangat mendalam bagi keluarga korban. Di samping itu, beberapa keluarga korban yang menjadi saksi mata dari kejadian memilukan tersebut, masih hidup sampai sekarang. Terlebih lagi saksi, bukti dan alat bukti juga mencukupi untuk mengajukan suatu gugatan, seperti yang diatur dalam pelanggaran hukum internasional. 
Menurut Nur Is, genosida atau pembantaian massal yang dilakukan tentara Jepang di Kalbar, telah didiskusikan di banyak waktu dan kesempatan melalui diskusi maupun seminar. Tragedi Mandor bahkan termaktub dalam Perda No 5 Tahun 2007, dimana hari terjadinya pembantaian kemudian ditetapkan sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD). Meskipun Pemprov Kalbar sejauh ini, sudah cukup pro aktif, tapi tentunya tidak hanya sampai di situ saja. Maka Pemerintah sudah seharusnya memfasilitasi adanya upaya untuk memperjuangkan keadilan atas kekejaman Jepang melalui suatu Pengadilan Internasional, karena menyangkut wilayah internasional yang berada dalam domain Pemerintah. Lagipula jika gugatan diajukan, tidak akan mengganggu hubungan bilateral kedua negara, karena ahli waris korban memang berhak mendapatkan kompensasi, dan dengan itulah nantinya dapat dipergunakan untuk mengejar ketertinggalan karena meninggalnya orang tua mereka. Pemprov Kalbar harus bekerjasama dengan para ahli waris korban dan masyarakat, untuk memberikan tuntunan atau jalan yang harus ditempuh mereka, dengan memfasilitasi terbentuknya sebuah tim untuk mengajukan gugatan ke pemerintahan Jepang.
Begitu pula, para keluarga korban juga patut untuk menghimpun diri, membentuk organisasi, menginventarisir saksi, alat bukti serta semua yang dapat memperkuat, ketika kasusnya diajukan ke Pengadilan Internasional, karena merupakan pelanggaran berat terhadap HAM. Nur Is menyarankan agar ahli waris korban Mandor dan pembantaian tentara Jepang di Kalbar, tidak sungkan dan ragu untuk menghimpun diri, termasuk para Jugun Ianfu, yang memang masih malu jika diungkap kasusnya, karena dianggap sama saja dengan membuka aib kepada umum. Keluarga korban perlu menghimpun diri dalam suatu organisasi dan pengorganisasiannya juga harus rapi. Kemudian mendata kembali pampasan perang yang pernah diberikan Jepang dan kepada siapa saja diberikan. Nah, data yang nantinya diperoleh, kemudian dicocokkan jumlahnya. Hal itu tentunya, harus ditelaah dengan benar sesuai dengan kaidah – kaidah normatif hubungan internasional. 
Terkait kompensasi yang dituntut kepada Jepang, sudah barang tentu mencakup kerugian materi maupun immateri, dan sunguh pantas untuk diajukan sebagaimana kasus – kasus lainnya. Karena apa yang terjadi di Kalbar, bukan hanya memberikan kerugian terhadap ahli waris korban, tetapi hilangnya satu generasi cendikiawan Kalbar. Mereka yang terbunuh adalah kaum bangsawan, alim ulama, tokoh masyarakat serta para intelektual. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar dan dirasakan hingga saat ini, dimana peradaban Kalbar set back atau mundur ke belakang. 
Jepang memang telah menyatakan permintaan maaf atas kekejaman mereka dan juga membayar pampasan perang, namun masih memungkinkan bagi korban tragedi Mandor untuk mengajukan kembali gugatan. Sebab, ia yakin tidak semua keluarga korban kekejaman Jepang di Kalbar telah memperoleh kompensasi. Seperti yang diungkapkan oleh Kiyotada Takahashi, korban genosida yang terdata sebanyak 21.037 jiwa, sedangkan target pembunuhan sebenarnya mencapai 50.000 jiwa. Nur Is menggaris bawahi, bahwa pelanggaran terhadap HAM seperti penghilangan nyawa manusia, pekerjaan, perkosaan dan Jugun Ianfu, sebenarnya tidak hanya terjadi di Kalbar. Tetap juga terjadi di Korea dan Cina, termasuk juga di Timur Tengah, dalam kasus – kasus terkini seperti di Iraq, Libya dan terakhir Mesir. Kita bisa mempelajari berbagai kasus pelanggaran HAM yang dibawa ke pengadilan internasional untuk menjadi referensi, dan apabila fokus serta profesional menanganinya maka hak – hak mereka pasti akan diberikan. Karena pandangan mata dunia saat ini cukup banyak memberikan perhatian dan kontribusi dalam masalah terkait pelanggaran HAM. 
Nur Is menyatakan dalam waktu dekat, akan mengadakan pertemuan dengan mengundang semua pihak yang menaruh perhatian terhadap kasus Mandor, untuk membahas rencana aksi guna menempuh langkah – langkah yang progresif. Sehingga korban sebanyak 21.037 jiwa, tidak hanya menjadi angka statistik. 
Di momen Hari Berkabung Daerah 28 Juni 2011 lalu Tribun Institute, telah menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Genocide”, serta menerbitkan Mars dan Himne untuk Pemaknaan. Oleh karena itu, Tribun Institute dan Borneo Tribune telah menjadi salah satu agen perubahan untuk melakukan tuntutan agar hak – hak keluarga korban, baik yang tercatat maupun tidak, agar dapat terorganisasi dengan rapi. 
Seperti yang ditulis oleh seorang Guru Besar Hukum Internasional, setiap kasus HAM pelanggaran tetap akan terkuak, dan kemudin diketahui siapa yang benar dan bersalah. Kemudian setiap pelanggaran hukum berat menyangkut hubungan internasional, itu tidak ter-peti es-kan dengan lamanya waktu. Apa yang terjadi dalam Pengadilan Den Hag dapat dijadikan acuan atau jurispudensi atau landasan hukum atas kasus – kasus lainya, termasuk di wilayah Kalbar. 
     
============ 0000 ===========

0 comments:

Posting Komentar