Urgensi revisi TATA RUANG Kalbar

Undang – undang 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Bab XIII Pasal 78 ayat 4 b, mengamanatkan Pemerintah Provinsi menyusun atau menyesuaikan semua Peraturan Daerah Provinsi, Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah – RTRW Provinsi paling lama, 2 tahun terhitung sejak Undang – undang ini diberlakukan (26 April 2007). Namun` hingga memasuki Januari 2010, Kalbar belum juga memiliki draf final hasil revisi. Sedangkan Perda No 5 Tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah – RTRW Kalbar, dinilai telah usang dan jika masih dijadikan acuan, justru semakin memperparah kesemrawutan tata ruang. Apalagi selama kurun waktu 2004 – 2009, berbagai perubahan terjadi di Kalbar, dan menimbulkan banyak persoalan menyangkut pembangunan yang membutuhkan ruang. Terutama euforia pemekaran, mulai dari pemekaran kabupaten, kecamatan, desa hingga RT. Terkecuali untuk pemekaran provinsi baru, yang harus tertahan menyusul Keputusan Presiden menunda sementara pembentukan daerah otonom tingkat Provinsi. Kondisi ini diperparah lagi dengan warisan kebijakan sentralistik di masa lalu, yang menyisakan berbagai masalah di Kalbar, terutama pengelolaan sektor kehutanan.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah - Bappeda KalbarFathan A. Rasyid mengatakan, “ revisi tata ruang wilayah – RTRW Provinsi, merupakan suatu alternatif yang dapat menjadi solusi mengatasi berbagai persoalan yang ada di Kalbar,termasuk konflik antara masyarakat. Selain itu` juga untuk mengimbangi pertumbuhan ekonomi suatu kawasan dan perkembangan populasi penduduk pada suatu wilayah. Salah satu contoh adalah` Kecamatan Putussibau sebagai ibukota Kabupaten Kapuas Hulu, kendati telah berkembang menjadi kota perdagangan, dengan populasi penduduk mencapai puluhan ribu jiwa, namun hingga saat ini status peruntukkan lahan pada peta, “masih sebagai kawasan hutan produksi.
Disamping menata kembali pengelolaan sektor kehutanan, revisi tata ruang, merupakan upaya peletakan pengembangan wilayah Kalbar, mulai dari sektor Perkebunan, Pertanian, peternakan hingga pertambangan. Jika hal ini tidak segera ditangani, maka sektor Kehutanan tetap dianggap sebagai penghambat pengembangan bidang perekonomian lainnya. Dengan revisi tata ruang, pemerintah daerah dapat leluasa mengembangkan wilayah, melalui investasi pemilik modal, “ tanpa khawatir adanya sanksi dari Pemerintah Pusat. Fathan menjelaskan, “sebenarnya langkah–langkah telah dilakukan Pemerintah Kalbar untuk mempercepat revisi, baik pada pola pemanfaatan ruang maupun struktur ruang. Menyangkut pola pemanfaatan ruang yang berkaitan dengan kawasan hutan, seperti penetapan alih fungsi peruntukan kawasan hutan, dari sisi ekonomis (hutan produksi) maupun ekologis (untuk konservasi, hutan lindung) telah dilakukan Tim Padu serasi`. Namun` merevisi tata ruang tidaklah mudah, Berdasarkan Undang – undang 41 Tahun 1999 tentang alih fungsi peruntukan hutan, kewenangan berada di tangan Pemerintah Pusat dan harus mendapat persetujuan DPR. Revisi tata ruang terlebih dahulu mendapat persetujuan substansi dari Menteri Kehutanan, untuk menjamin muatan perda dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang terkait di bidang penataan ruang. Fathan mengatakan, “ Dokumen revisi tata Ruang Provinsi maupun Peta usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan (hasil sinkronisasi pemerintah provinsi dan Kabupaten Kota) telah diteliti tim terpadu. Berkasnya pun telah diserahkan ke Pusat dan kini tinggal menunggu selembar peta yang bakal ditandatangani oleh seluruh Kepala Daerah untuk menjadi bukti konkrit. Revisi mencakup perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi kawasan bukan hutan, perubahan antar fungsi kawasan hutan dan penunjukan areal bukan kawasan hutan menjadi areal kawasan hutan. Dalam hal ini` Pemerintah Provinsi bertindak sebagai fasilitator dan tidak melakukan intervensi, terhadap revisi yang diajukan kabupaten kota. Perubahan peruntukan kawasan hutan dalam revisi tata ruang di kabupaten kota, kemudian diusulkan ke Menteri Kehutanan. Melalui Tim Terpadu, draf usulan kemudian dipelajari, yang ditindaklanjuti dengan peninjauan langsung ke daerah. Penyusunan dilakukan melaui 2 tahapan, yakni laporan pendahuluan dan kompilasi data yang telah dirampungkan tahun lalu, dan kini tinggal menunggu fakta analisis dan laporan akhir.Jika telah final, maka menjadi dasar untuk merevisi Tata Ruang yang dikombinasikan dengan struktur ruang yang masuk domai Dinas PU. Saat ini PU tengah mengumpulkan kompilasi data dan Tim terpadu masih bekerja di Bogor. Tim Revisi Kalbar di ketuai oleh Eddy Thamrin dari Universitas Tanjungpura, yang terdiri dari Bappeda, Dinas Kehutanan, BPN dll. Dirinya tidak menyebutkan berapa luas wilayah di Kalbar yang dialih fungsikan, nanti setelah rampung baru diekspos` tegas fathan”.
Dengan adanya padu serasi antara Provinsi dan kabupaten Kota kemudian diusulkan, dan dicek kembali Menteri Kehutanan melaui Tim teknis, yang kemudian memberi pertimbangan berdasarkan hasil penelitian dan uji konsistensi. Jika semua telah sinkron maka dibawa dan mendapatkan persetujuan DPR. Setelah itu Menteri Kehutanan menerbitkan persetujuan substansi kehutanan, yang menjadi dasar Gubernur dan DPRD menyesuaikan revisi peraturan daerah menyangkut RTRW. Dan terakhir Perda tersebut menjadi dasar Menteri Kehutanan megeluarkan Surat Keputusan tentang Perubahan Peruntukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan. Jika revisi telah rampung dan diperkuat melalui penetapan suatu Perda, maka menjadi kekuatan hukum yang mempedomani Pemerintah Kabupaten Kota untuk menyusun Rencana Tata Ruang masing – masing.
Fathan A. Rasyid menambahkan, “pernah mengusulkan adanya Peraturan pengganti Undang – undang (Perpu), yang memberikan kewenangan pada Kepala daerah untuk merevisi tata ruang. Sebab` “hingga pertengahan Desember 2009` Pemerintah Provinsi belum dapat merampungkan revisi Peraturan Daerah menyangkut Tata Ruang, karena masih menunggu hasil final dari Menteri Kehutanan. Karena lama menunggu, gubernur Kalbar pernah menemui Menteri kehutanan, dan MS. Kaban kemudian menjanjikan paling lambat sebelum anggota DPR periode 2004 – 2009 berakhir, Tim Tepadu yang dibentuk telah merampungkan persetujuan prinsip alih fungsi lahan serta disetujui DPR.Namun` dalam kondisi menunggu` muncul pertanyaan, “apa yang menjadi pegangan Pemprov Kalbar. Sementara para legislator di Senayan tengah sibuk dengan berbagai kegiatan kedewanan maupun kepartaian masing – masing. Untuk itulah Gubernur Kalbar pada Forum Asosiasi Pemerintah Provinsi - APPI mengajak seluruh Kepala Daerah mencari solusi, untuk memayungi daerah, “yakni mengusulkan adanya Perpu, “yang yang memberikan Gubernur wewenang untuk mengatur revisi tata ruang di provinsi masing – masing, ” baik kawasan konservasi, kawasan hutan produksi maupun kawasan budidaya. Apalagi` hal yang sama juga terjadi di 3 provinsi lain di Kalimantan. Dan kebijakan nasional juga telah jelas, dimana 30 % dari wilayah merupakan kawasan hutan.Namun` sekali lagi upaya tersebut mentok tanpa argumen jelas, dan pemerintah provinsi masih harus menunggu, “akibatnya proses revisi Tata Ruang untuk regional Kalimantan pun, juga menjadi terkendala.
Dalam pertemuan dengan Komisi IV DPR RI di balai Petitih Desember lalu` Fathan A. Rasyid kembali melontarkan usulan tersebut, suatu regulasi yang memberikan Kepala Daerah kewenangan untuk mengatur revisi tata ruang di daerah masing – masing. Usulan tersebut mendapat respon positif oleh para legislator, dan berjanji bakal mengagendakan pertemuan dengan Menteri terkait untuk menjelaskan urgensinya revisi tata ruang di Kalbar dan juga 3 provinsi lainnya di Kalimantan. Bahkan` Ketua Komisi V DPR RI Ahmad Muqowwam menghendaki, “sukses 4 gubernur di pulau Kalimantan, mengucurkan dana ratusan milyar rupiah dari Pemerintah Pusat, untuk membiayai pembangunan jalan Trans Kalimantan, jangan sampai berhenti di situ saja. Hal yang sama “sebaiknya juga dipraktekkan pada usulan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah – RTRW regional Kalimantan. Bahkan` dirinya mengakui, strategi 4 gubernur yang mengusung satu paket program pembangunan, efektif menekan Pemerintah Pusat dan lebih memungkinkan untuk terealisasi. Selain lebih mendapat prioritas, soliditas keempat Pemerintah Provinsi dan kesamaan visi dari masing – masing gubernur, juga dapat menjadi indikator bagi kawasan lain, keberhasilan mengusung paket program pembangunan, melalui pembiayaan multy years anggaran.Ahmad Muqowwam menilai revisi RTRW mendesak dilakukan, agar tidak menghambat proses pembangunan di masing – masing daerah. Sebab` seringkali investasi ke suatu daerah maupun proyek pengembangan wilayah oleh Pemerintah, terpaksa gagal akibat tidak sesuai dengan peruntukan lahan. Bahkan` di sejumlah daerah, persetujuan yang diberikan Kepala Daerah, pembukaan lahan baru untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, namun bukan termasuk lahan komersil, menyebabkan sejumlah Kepala Daerah berurusan dengan pihak berwajib. Namun` Ahmad Muqowam menghendaki, sebelum revisi tersebut diajukan ke Pemerintah Pusat, terlebih dahulu masing – masing gubernur menyepakati pointer utama dalam skala prioritas pembangunan di wilayah Kalimantan.
Di bagian lain` revisi tata ruang jangan hanya sekedar memenuhi persyaratan administratif, namun kebijakan tersebut harus dapat mengatasi pelanggaran menyangkut ketata ruangan. Apalagi belum ada kejelasan regulasi menyangkut penyelesaian masalah tata ruang, di lain pihak rencana tata ruang telah disusun terlebih dahulu. Dikuatirkan revisi tidak mengakomodir berbagai persoalan yang telah, tengah dan kemungkinan terjadi. Sementara UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan ruang menyebutkan, “ dalam merevisi Tata ruang Provinsi maupun kabupaten Kota, tidak diperbolehkan adanya pemutihan atas pelanggaran yang telah terjadi sebelumnya. Pemutihan adalah melegalkan berbagai pelanggaran terhadap perubahan peruntukan atau status kawasan hutan yang terlah terjadi, maka dapat diartikan seluruh pelanggaran harus diproses secara hukum. Persoalannya` apakah kerusakan hutan yang terjadi akibat eksploitasi alam secara membabi buta, oleh oknum tersebut harus dikembalikan lagi seperti status awal, mungkinkah? Jika harus dibiarkan` maka kerusakan alam yang terjadi dengan sengaja dibenarkan oleh kebijakan, yang di masa depan justru berpotensi memperparah kerusakan hutan.