Senin, 05 Mei 2014

TOLAK KEKERASAN TERHADAP JURNALIS

Hari Pers Internasional (World Press Freedom Day) yang jatuh setiap 3 Mei menjadi momen peringatan wartawan di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Apalagi, penuntasan berbagai kasus kekerasan yang menimpa wartawan di Indonesia, hingga kini belum juga menemui titik terang. 

Sejak runtuhnya rezim orde baru, kebebasan pers dimulai pada periode ini dengan dibentuknya Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun, regulasi yang jelas ternyata tak menjamin adanya perlindungan dan kebebasan terhadap jurnalis. Sejumlah kekerasan fisik kerap dialami awak pers tanpa adanya kejelasan penyelesaian kasus, seperti naik ke meja hijau atau persidangan. 

Berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum Pers jumlah kasus kekerasan yang dialami jurnalis pada 2013 sebanyak 50 kasus, yang meliputi ancaman atau teror, pengusiran dan larangan peliputan, serangan fisik, sensor, tuntutan/ gugatan hukum, regulasi, demonstrasi dan pengerahan massa, perusakan kantor serta perusakan alat. 

Maraknya kekerasan menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap jurnalis, terutama mereka yang bekerja di wilayah konflik dan rawan. Beberapa titik kelemahan tersebut adalah perlindungan yang minim dari media tempat jurnalis bekerja, adanya kelemahan perlindungan dari pemerintah seperti impunitas atau pembiaran pelaku kejahatan dari tanggung jawab hukum menjadi penyebab meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis. 

Hanya sebagian kecil kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis yang kemudian diusut dan diadili. Di samping itu, hingga saat ini pemerintah khususnya aparat Kepolisian masih memiliki utang yang belum terbayarkan yakni mengusut tuntas dan membawa para pelaku pembunuh jurnalis khususnya kasus pembunuhan terhadap jurnalis Bernas Yogya, Fuad Muhammad Sjafruddin yang sangat mendesak karena akan kadaluarsa pada Agustus 2014. 

Selain itu, tak sedikit jurnalis yang bekerja tidak sesuai kode etik jurnalistik sehingga kerap menjadi persoalan atas pemberitaan. Bahkan, kasus kekerasan yang dialami oleh jurnalistik justru berujung dengan perdamaian dengan cara penawaran pemasangan iklan oleh pelaku kekerasan di media yang bersangkutan. 

Selanjutnya, untuk lembaga penegak hukum seperti hakim, polisi, jasa dan advokat diharapkan dapat melakukan proses hukum terhadap tindak kekerasan terhadap jurnalis, menggunakan UU Pers dalam menyelesaikan masalah pers dan melaksanakan nota kesepahaman antara Polri dan dewan pers, dalam penegakan hukum dan perlindungan kebebasan pers. 

Pekerja pers juga diharapkan dapat memaksimalkan peran strategis media dalam pemberantasan korupsi, melakukan sosialisasi UU Pers, meningkatkan profesionalisme dalam melaksanakan kerja jurnalistik, menulis dengan dasar KEJ dan UU Pers 1999, melaksanakan peran dan fungsi pers dengan melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum serta melakukan konsolidasi untuk melawan setiap kekerasan terhadap jurnalis dan kebijakan yang mengancam kebebasan pers. 

Sementara AJI Jakarta mencatat sedikitnya ada delapan kasus pembunuhan jurnalis sejak tahun 1996 sampai sekarang yang belum diselesaikan secara tuntas. Nama para jurnalis yang menjadi korban yaitu Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin dari harian Bernas, Naimullah jurnalis Sinar Pagi dan Agus Mulyawan jurnalis Asia Press. Selanjutnya, Ersa Siregar jurnalis RCTI, Herliyanto jurnalis Delta Pos, Adriansyah Matrais Wibisono jurnalis TV lokal di Merauke dan Alfred Mirulewan jurnalis tabloid Pelangi. 

Sayangnya, setiap laporan kasus kekerasan terhadap jurnalis sejak tahun 1996 banyak yang tidak ditindaklanjuti kepolisian. Sehingga terkesan ada pembiaran dan menciptakan impunitas hukum bagi para pelaku. 

KEKERASAN WARTAWAN BISA DIMINIMALISASIR JIKA SAJA : 

• Pihak yang berkonflik memegang teguh undang - undang pers dan kode etik jurnalistik. 
• Memahami fungsi dan tugas wartawan sebagai penyampai berita dalam rangka memenuhi keingintahuan   publik. 
• Melalui mekanisme yang sudah ditetapkan. Jika jalur di media, gunakan hak jawab, ralat, dan sebagainya. Jika melalui jalur Dewan Pers, bisa melalui mediasi, rekonsiliasi dan sebagainya. 
• Wartawan memegang teguh kode etik jurnalistik untuk meminimalkan konflik terusan akibat pemberitaan yang dilaporkan 

Berangkat dari itulah, dalam rangka Peringatan Hari Pers Internasional yang akan digelar di Bundaran Digulis Pontianak pada Sabtu, 3 Mei 2014, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pontianak menyerukan : 

1. Menolak setiap aksi kekerasan terhadap jurnalis 
2. Usut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis Kalbar, antara lain : kasus pemukulan terhadap wartawan Metro Pontianak, Arief Nugroho dan wartawan Metro TV, Faisal pada 13 Maret 2010 yang dilakukan oleh oknum mahasiswa Fakultas Teknik Untan, dan kasus-kasus lain. 
3. Stop mempekerjakan jurnalis tanpa kontrak yang jelas dan perjelas status kontributor atau stringer 
4. Tingkatkan kesejahteraan jurnalis dengan memberikan upah layak dan berbagai tunjangan lain. 
5. Usut kasus pembunuhan wartawan Udin Bernas yang hingga kini belum tuntas. 
6. Selesaikan sengketa jurnalistik dengan menggunakan Undang-Undang Pers.

0 comments:

Posting Komentar