Selasa, 10 Juni 2014

Selamatkan Ekosistem Kalimantan untuk Keberlanjutan Kehidupan Rakyat!!!

Hak atas pembangunan yang memihak kepentingan rakyat utamanya Hak Atas Hidup merupakan hak universal yang melekat pada setiap manusia dan hal ini dengan sendirinya menjadi kewajiban asasi negara bersama seluruh komponennya untuk penghormatan, perlindungan maupun pemenuhannya.

Selanjutnya Resolusi PBB 1803 (XVII) 14 Desember 1962 juga menegaskan bahwa kedaulatan atas sumberdaya alam merupakan hak rakyat untuk dengan bebas mengatur kekayaan sumberdaya alam mereka. Hak atas lingkungan sebagai Hak Asasi mendapatkan pengakuan pada kesimpulan Sidang Komisi Tinggi HAM (April 2001), yang memandatkan bahwa “Setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan hidup”.

Dalam Konstitusi Negara Kita khususnya UUD 1945 pasal 28H ayat (1) menyatakan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal ini secara tegas juga disampaikan dalam UU 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup pasal 65 ayat (1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia, (2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Demikian juga dalam UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pasal 3 menyebutkan “Masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang lebih baik dan sehat”.

Begitu pentingnya lingkungan hidup untuk kebelanjutan kehidupan guna memastikan terpenuhinya hak hidup segala makhluk khususnya manusia. Namun demikian, kepastian pemenuhan hak atas lingkungan dalam perjalanannya mengalami persoalan ketika negara yang memiliki mandat melakukan kewajiban asasi justeru memberikan ruang bagi potensi terlanggarnya hak-hak warganya atas pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pelbagai regulasi seperti misalnya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur tentang perlindungan lingkungan. Namun sebagaimana diatur dan dinyatakan di dalam pelbagai regulasi tersebut, perlindungan lingkungan hidup dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia kerapkali tidak sejalan dengan praktek.

Fakta bahwa krisis dan masalah lingkungan hidup sejatinya tidak semata lahir karena sikap setiap individu yang tidak bersahabat terhadap lingkungannya, namun lebih dari itu permasalahan krusial lingkungan hidup berakar dari persoalan struktural. Kebijakan industri ekstraktif (Perkebunan, pertambangan, hutan tanaman dan sejenisnya dalam skala luas) terhadap sumber daya lingkungan berbasis hutan dan lahan disadari telah menyebabkan rusaknya ruang hidup masyarakat dan juga habitat bagi satwa yang dilindungi.
Hal ini berdampak langsung pada hak dalam berbagai bidang ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup. 

Kasus kriminalisasi disertai tindakan kekerasan aparat yang dialami warga Batu Daya 5 Mei 2014 lalu yang hingga kini masih mendekam dalam tanahan Polda Kalimantan Barat atas hadirnya korporasi (PT. Swadaya Mukti Prakarsa/PT. First Resources), krisis air dan krisis (lahan) pangan yang terjadi, konflik sumber daya agraria, bencana kabut asap yang terus terulang, diabaikannya hak-hak komunitas (Masyarakat Adat) atas hadirnya korporasi yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi telah melahirkan persoalan ketidakadilan dan kemanusiaan. Pada kondisi ini, akses maupun kontrol masyarakat atas ruang hidupnya yang sejak lama mengandalkan sumber daya lingkungannya mengalami persoalan serius. Kebijakan atas nama pembangunan berbasis hutan dan lahan tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan pada akhirnya merampas ruang hidup untuk keberlanjutan kehidupan manusia Kalimantan. Dampak rusaknya lingkungan hidup pada kahirnya berimbas pula pada masyarakat perkotaan, termasuk di Kota Pontianak.

Massifnya izin bagi korporasi (sektor industri ekstraktif) di Kalimantan Barat dengan luas izin konsesi masing-masing mencapai; 378 izin perkebunan kelapa sawit seluas 4.962,022 ha, 721 izin pertambangan dengan seluas 5.074,338 ha dan 76 IUPHHK seluas 3.611,721 ha dengan luas keseluruhan mencapai 13,648,081 ha memperlihatkan ketimpangan luar biasa atas pemanfaatan sumber daya alam. Dalam hal ini luasan ijin tidak sebanding dengan luasan wilayah kelola masyarakat yang pada akhirnya juga berpotensi melahirkan pelanggaran dan perampasan tanah yang begitu nyata terus terjadi. Semakin kecilnya ruang kelola dan semakin luasnya eksploitasi berdampak pada kerusakan lingkungan yang kemudian jelas melanggar penghormatan dan perlindungan serta menghambat pemenuhan Hak Asasi Manusia. Pada sisi yang lain, kebijakan pengembangan izin bagi korporasi penting dievaluasi serta dihentikan sembari melakukan audit maupun penyelesaian serta pemulihan atas persoalan agraria utamanya terkait kesleamatan manusia juga lingkungan hidup.

Melalui perayaan Hari Lingkungan 5 Juni dengan tema “Selamatkan Ekosistem Kalimantan untuk Keberlanjutan Kehidupan Rakyat”, maka Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat secara bersama-sama menyerukan agar:
1. Kembalikan mandat negara sebagai pengemban kewajiban dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.

2. Tata ulang relasi antara negara, modal dan rakyat.

3. Selesaikan konflik sumberdaya alam dan lingkungan hidup

4. Pulihkan keseimbangan ekologis dan perlindungan lingkungan hidup.

0 comments:

Posting Komentar