Sabtu, 19 Maret 2011

PPP HARUS BELAJAR DARI KESALAHAN MASA LALU

Seluruh jajaran PPP di semua tingkatan harus belajar dari kesalahan di masa lalu, yang mengakibatkan partai berlambang Ka`bah ini anjlok dan nyaris tergusur dari percaturan politik nasional. Kesalahan yang dimaksud adalah kurangnya soliditas dari jajaran pengurus, untuk memperjuangkan nilai – nilai keislaman yang menjadi ideologi partai. Akibatnya kepercayaan kader dan simpatisan terhadap pengurus semakin melemah, yang berdampak pada merosotnya perolehan suara partai dalam 2 kali Pemilu Legsilatif. Dalam jumpa pers seusai membuka Musyawarah Wilayah VI PPP di Pontianak Jum`at (18/03/11), Ketua Umum PPP Suryadharma Ali mengajak seluruh kader di semua tingkatan untuk mengoreksi total kesalahan masa lalu, agar tidak lagi terulang dalam Pemilu Legislatif 2014 mendatang. Percepatan agenda Muktamar, Musyawarah Wilayah maupun Musyawarah Cabang PPP, merupakan upaya untuk membangun konsolidasi partai dari pusat hingga daerah. Karena kader yang terpilih di jajaran pengurus, memiliki waktu untuk membenahi partai, sekaligus menyempurnakan program kerja partai menghadapi agenda politik nasional. Terkait target perolehan suara dalam Pemilu Legislatif 2014, dirinya masih menunggu rampungnya seluruh Musyawarah Wilayah. Saat ini tercatat sebanyak 23 dari 33 DPW telah menyelesaikan agenda Musyawarah Wilayah.   
Di bagian lain, Suryadharma Ali mengkritisi pandangan sebagian pengamat politik, bahwa azas Islam yang menjadi baju PPP sudah tidak lagi relevan diterapkan saat ini. Menurutnya hal itu suatu penilaian sesat yang tidak berdasar. Anjloknya perolehan suara PPP dalam pentas politik nasional adalah kesalahan kader dalam mengelola partai sebagai organisasi politik, bukan karena azas keislaman yang menjadi ideologi partai. Dirinya yakin PPP tetap eksis di dunia perpolitikan tanah air, asalkan seluruh kader tetap berpegang kukuh memperjuangkan kepentingan umat islam dan kesejahteraan seluruh bangsa.
Suryadharma Ali juga membantah hasil survei beberapa lembaga survei, yang menyatakan menurunnya intoleransi umat di Indonesia beberapa tahun terakhir. Sebab, survei yang dilakukan hanya berdasarkan asumsi pada terjadinya aksi kekerasan, tanpa menulusuri secara detail akar persoalan yang sebenarnya. Dirinya mensinyalir survei yang dilakukan sekelompok orang tersebut, bukan ingin mengungkap kasus yang sebenarnya, melainkan untuk memojokkan kaum muslimin dan agama islam di Indonesia. Suryadharma Ali memaparkan adanya skenario jahat di balik survei berkedok penelitian ilmiah, untuk membenarkan adanya intoleransi umat. Mereka mengaitkan kasus penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah maupun penyerangan Rumah Ibadat Kristiani, sebagai bentuk intoleransi umat Islam tehadap perbedaan keyakinan. Sehingga muncul opini menyesatkan yang menyatakan kaum minoritas telah kehilangan tempat di negara Indonesia. Di bagian lain, hasil survei juga memutarbalikkan fakta, jika perlawanan kaum muslimin atas penistaan agama, sebagai bentuk radikalisme yang berakar dari fundamentalisme keagamaan. 
Bahkan, Suryadharma Ali juga mengkritisi isi pemberitaan sebagian media,  yang tidak adil dalam menyajikan berita pada publik. Media hanya menyoroti aksi kekerasan dan menampilkan penderitaan korban, tanpa melakukan investigasi untuk mengangkat akar persoalan yang memancing kemarahan umat Islam. Selain itu, media juga menjadikan beberapa kasus kekerasan bernuansa keagamaaan, sebagai komoditas untuk mendeskritkan umat Islam. Insiden kekerasan dieksploitasi sedemikian rupa untuk meraih simpati dunia, seolah – olah ada diskriminasi, penzaliman dan intimidasi terhadap kaum minoritas di negeri mayoritas Islam. Menurutnya bangsa Indonesia adalah masyarakat paling toleran di dunia, terhadap perbedaan keyakinan. Dirinya menyontohkan banyak keluarga yang hidup rukun dan damai, meskipun anggota keluarga di dalamnya berbeda agama atau keyakinan.   




0 comments:

Posting Komentar