Senin, 26 April 2010

MORATORIUM PEMEKARAN GANJAL PROVINSI KAPUAS RAYA

Masa depan Provinsi Kapuas Raya semakin tidak jelas. Hal itu tersirat dalam sambutan tertulis Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzie pada Peringatan Hari Otonomi Daerah XIV, yang dibacakan Plt. Sekretaris Daerah Kalbar MH. Munsin di Halaman Kantor Gubernur Kalbar Senin (26/4/10).
Gemawan kembali menegaskan tentang moratorium pemekaran, hingga tuntasnya evaluasi menyeluruh terhadap 205 daerah otonom baru. Sekaligus menunggu rampungnya penyusunan Grand Strategy (Desain Besar Penataan Daerah), yang dijadwalkan Juni 2010. Dimana konsep tersebut bakal menjadi acuan penataan daerah hingga tahun 2025 mendatang.
Diakui` dalam praktiknya selama ini, pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika politik, ekonomi dan sosial yang terjadi. Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi di Indonesia mengalami perkembangan sejak diundangkannya UU nomor 22 tahun 1999, yang telah disempurnakan menjadi UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Otonomi hakikinya bertujuan membangun demokrasi dan mencapai kesejahteraan. Begitu pula, pembentukan daerah baru juga bertujuan meningkatkan pelayanan publik, sehingga mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di samping sarana politik di tingkat lokal. Sejak tahun 1999, telah terbentuk 205 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota.
Dengan demikian, total daerah otonom hingga tahun 2009 sebanyak 524 daerah, yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, 93 kota, 5 kota administratif serta 1 kabupaten administratif. Menyikapi kondisi dan spirit pemekaran daerah yang fenomenal tersebut, pemerintah segera melakukan kebijakan moratorium pemekaran.
Untuk mendukung pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah, tentunya tidak terlepas dari bagaimana mengelola tata pemerintahan yang baik. Praktik kepemerintahan yang baik mensyaratkan bahwa pengelolaan dan keputusan manajemen publik, harus dilakukan secara transparan dan akuntabel dengan membuka ruang partisipasi sebesar-besarnya, khususnya keputusan yang mengikat publik.
Namun` konteks akuntabilitas, pemerintah tidak dapat menganggap bahwa masyarakat itu hanyalah sebagai konsumen pelayanan publik, tetapi perlu diperlakukan sebagai citizen. Agar dapat menjamin hak-hak dasar masyarakat sebagai warganegara, pemerintah telah mengeluarkan peraturan pemerintah nomor 65 tahun 2005 tentang standar pelayanan minimal.

0 comments:

Posting Komentar