Jumat, 29 April 2011

AMAN DESAK PEMERINTAH AKUI HAK MASYARAKAT ADAT

Pontianak. Eksistensi dan hak – hak masyarakat adat semakin terpinggirkan dan terus terancam, sementara wilayah yang menopang stabilitas lingkungan, justru berada di kawasan masyarakat adat dan tetap terpeliharan di bawah kearifan lokal. Ironisnya, kebijakan pemerintah hingga hari ini, belum menunjukkan keberpihakan pada masyarakat adat. Dihubungi Jum`at (22/04/11), Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara – AMAN Provinsi Kalbar Sujarni Aloy, menuntut pemerintah segera mengakui hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam pada kawasan yang telah mereka huni secara turun - temurun. Hal ini perlu dilakukan mengingat besarnya ancaman perampasan tanah adat dengan dalih eksploitasi sumber daya alam, terutama ekspansi agresif perkebunan kelapa sawit. Penataan ulang telah dilakukan komunitas adat di kawasan masing – masing, melalui pemetaan partisipatif. Saat ini pihaknya telah memetakan sekitar 1,3 juta hektar kawasan masyarakat adat, yang tersebar di berbagai daerah di Kalbar.
Lebih lanjut, Aloy menyatakan pihaknya selalu mendorong masyarakat adat untuk memproteksi lingkungan mereka, apalagi dalam konteks perubahan iklim yang membutuhkan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan, khususnya kawasan hutan. Serta menggugah kesadaran masyarakat adat betapa berharganya kearifan lokal, dalam menjaga sumber daya hutan. Apalagi ancaman lingkungan dapat memusnahkan mereka, karena resiko bencana alam yang kemungkinan terjadi akibat kerusakan alam belum pernah mereka saksikan sebelumnya.
Tapi hal itu, bukan berarti pihaknya melarang alih fungsi lahan bagi perkebunan sawit, hanya saja harus ada perimbangan alam, dengan tetap menyediakan lahan sebagai kawasan hutan. Untuk itulah, perlu ada revisi terhadap regulasi yang berkaitan dengan pembukaan lahan, bagi sektor perkebunan dan pertambangan. Meskipun suatu kawasan yang ditempati masyarakat adat dinilai memenuhi syarat untuk konsesi lahan bagi perkebunan sawit, namun pemerintah tetap harus menghormati putusan masyarakat untuk menolak pembukaan lahan. Untuk itu, AMAN terus memberikan penyadaran hukum pada masyarakat adat, bahwa keberadaan mereka bukanlah ilegal di negara ini. Mereka adalah penentu karena diakui dalam undang – undang, sehingga harus menjadi pelaku dalam suatu proses, bukan sekedar penonton.          
Lebih lanjut, Aloy mengaku miris melihat Revisi Tata Ruang Wilayah – RTRW di Provinsi maupun kabupaten kota di Kalbar, yang tidak terlihat progres dari masing – masing pemerintah daerah untuk mau, bermaksud dan berniat mengakui hak – hak masyarakat adat. Proses yang dilakukan pemerintah dalam penataan ruang masih paradigma lama, tanpa melihat kondisi sesungguhnya di lapangan. Pemerintah tetap mengambil suatu kawasan milik masyarakat adat, dengan merubahnya menjadi status HP/Hutan Produksi dan APL/Areal Penggunaan Lain. Bahkan, penggunaan APL pada kawasan yang semestinya dipertahankan, justru lebih ke arah yang tidak menjamin dalam konteks ketika berbicara di peringatan Hari Bumi.
Menurut Aloy, belum tampak sama sekali komitmen dunia, termasuk presiden SBY untuk mengurangi gas emisi sebesar 26 %. Karena masih terjadi penebangan hutan, penggusuran serta rekayasan untuk merampas hak – hak masyarakat adat.
Hal yang sama juga terlihat dari lembaga hukum formal, yang belum dapat memberikan keadilan bagi masyarakat adat. Justru sebaliknya, menjadi lembaga yang memenjarakan dan memeja hijaukan masyarakat adat. Seperti di Sintang, masyarakat adat dijadikan kambing hitam dan ditangkap aparat atas tindakan anarkis mereka, tanpa pernah menyelidiki faktor apa yang melatar belakangi tindakan masyarakat adat tersebut. Kondisi ini sangat menyedihkan, karena belum ada perubahan paradigma di negeri ini, baik dari kacamata hukum maupun kebijakan.   

0 comments:

Posting Komentar