Penangkapan paksa disertai tindak kekerasan yang dilakukan
anggota BRIMOB Polda Kalimantan Barat terhadap lima warga Batu Daya pada 5 Mei
2014 lalu, yang berawal dari kejadian yang berakhir bentrok warga vs aparat,
saat warga mendatangi Camp PT. Swadaya Mukti Prakarsa (SMP)/PT. First Resources
pada 26 Oktober 2013 silam menagih haknya, dimana dua warga yakni Anyun dan
Yohanes Singkul hingga saat ini masih mendekam dalam tahanan menjadi
keprihatinan bersama. Dua warga kampung Keranji yang dipersalahkan telah melakukan
tindak penganiayaan dan membawa senjata tajam dipaksa harus berurusan dengan
proses pengadilan yang berawal pada 2 Juli 2014. Pada sisi lain, saat kejadian
penangkapan paksa, kaum ibu dan anak-anak yang menyaksikan langsung proses
penangkapan mengalami trauma, ketakutan. Sementara ketika dua warga ditahan
sejak 6 Mei 2014 hingga saat ini, keluarga korban secara otomatis terpisah dari
orang yang menjadi tulang punggung mereka.
Pada sidang 1
September 2014, JPU membacakan tuntutan terhadap kedua warga Batu Daya, Anyun
dan Yohanes Singkul tersebut masing-masing didakwa atas tuduhan tindak
penganiayaan dan membawa senjata tajam dengan tuntutan pidana sebagaimana
dibacakan JPU selama 10 bulan penjara. Keduanya didakwa pelanggaran Pasal 351
KUHP & Pasal 2 UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Selanjutnya pada Senin, 8
September 2014 bertempat di PN Pontianak, Kuasa Hukum warga (Gerakan Bantuan
Hukum Rakyat Kalimantan) menyampaikan Pledoi (Pembelaan) atas kedua korban.
“Merespon kasus hukum yang dialami oleh kedua warga Batu Daya
ini, bagi kami adalah ujian serius untuk Pengadilan Negeri Pontianak menjawab
kritikan publik atas implementasi hukum di negeri ini yang tajam ke bawah dan
tumpul ke atas. Untuk itu, para hakim dalam kasus ini dituntut mengedepankan
rasa keadilan dan mempertimbangkan aspek social dan kemanusiaan dalam
memutuskan kasus ini yang rencananya akan disampaikan besok, Rabu 10 September
2014. Hakim diharapkan tidak hanya menjadi corong konstitusi semata, mereka dituntut memahami berbagai bentuk
konflik sumber daya alam yang melibatkan masyarakat dengan korporasi, lebih
khusus lagi para hakim diwajibkan memahami aspek sosial budaya yang tumbuh dan
berkembang di dalam komunitas masyarakat di Kalimantan Barat, terutama
Masyarakat Adat Dayak” ungkap Anton P. Widjaya, Eksekutif Daerah WALHI
Kalimantan Barat.
Anton menambahkan bahwa dua warga Batu Daya, Kecamatan
Simpang Dua, Kabupaten Ketapang yang kini menjalani proses hukum dan mendekam
dalam bui merupakan korban atas alpanya niat baik perusahaan mengakomodir
hak-hak masyarakat yang selama ini mereka perjuangkan. “Karenanya, demi
keadilan dan kemanusiaan, kami menyerukan agar Anyun dan Yohanes Singkul
dibebaskan,” tambah Anton.
“Dalam kasus ini, nuansa motif kriminalisasi terlihat sejak
awal, terlebih dengan adanya keterlibatan pihak perusahaan. Penangkapan warga
dengan tuduhan penganiayaan karena salah satu dari anggota BRIMOB yang juga
ketua regu terlempar benda keras saat aksi damai warga hanyalah dampak, bukan
persoalan dasar. Demikian pula tuduhan karena membawa senjata tajam pada saat
kejadian bentrok antar warga dengan anggota kepolisian sebagaimana yang dialami
Yohanes Singkul,” tambah Agus Sutomo, Direktur Link-AR Borneo.
Lebih lanjut, Tomo menambahkan bahwa pada saat kejadian
sesungguhnya baik anggota BRIMOB maupun
warga, sama-sama menjadi pihak korban. “Karena sebagaimana diketahui, salah
seorang warga yang juga kepala desa Batu Daya pada saat kejadian, disekap dan
dipukuli pihak satpam perusahaan dan anggota BRIMOB hingga babak belur dan
bahkan pingsan dengan luka di bagian kepala,” jelasnya.
Sesungguhnya akar persoalan sebenarnya adalah tidak adanya
niat baik untuk pemenuhan hak masyarakat dengan janji-janji yang tak kunjung
dipenuhi oleh pihak perusahaan sehingga menyebabkan warga Batu Daya untuk
kesekian kalinya kembali mendatangi Camp perusahaan pada 26 Oktober 2013 silam.
Karena ada perlawanan untuk menghalang-halangi warga yang berniat memasuki
wilayah Camp oleh aparat yang berjaga ditambah suara tembakan peringatan, maka kejadian
bentrok tidak terhindarkan.
Jadi atas kesaksian Sahrudin, oknum anggota brimob yang
menjadi korban pelemparan yang mengatakan tidak mengetahui adanya tembakan
peringatan pada sidang 6 Agustus 2014 lalu tidak masuk akal, karena berbeda
dengan kenyataan yang sesungguhnya terjadi di lapangan (Video kejadian). Lebih
tidak masuk akal lagi bila benda keras yang mengenainya berdasarkan keterangan
saksi pihak pelapor hanyalah serpihan dari bongkahan besar semata. Bila melihat
kontruksi kehadiran anggota BRIMOB hingga terjadi bentrok antar warga dari
kesaksian pihak pelapor yakni anggota BRIMOB dan perwakilan pihak perusahaan
beberapa waktu lalu, maka jelas ada unsur konspirasi untuk melakukan
kriminalisasi terhadap warga.
“Karena itu, kami menunggu majelis hakim yang menangani kasus
ini membuat keputusan yang adil dan berkualitas, berlandaskan kepada kondisi
objektif Masyarakat Adat Dayak dan pemahaman akan adat budaya yang berkembang
di tengah masyarakat serta memposisikan perjuangan masyarakat dalam mempertahankan
hak atas tanah warisan leluhur dan nenek moyang mereka sebagai pertimbangan utama keputusan,” tambah
Anton.
Hal sama disampaikan Penanggungjawab Forum Relawan
Kemanusiaan Pontianak, Bruder Stephanus Paiman. “Saya harap majelis hakim harus
bijak dalam memutus perkara ini, mereka harus melihat sisi budaya masyarakat
setempat, misalnya soal sajam di kampung atau daerah pedalaman, tidak bisa
langsung memasukanya dalam UU darurat,” tegasnya.
Bruder Stephanus Paiman juga menyampaikan harus dihadirkan
juga ahli budaya atau daerah setempat. “Misalnya untuk kampung saya di Benua
Bantanan, orang kampung biasa membawa parang atau senapang lantak atau bomen
untuk pergi ke ladang, karena parang digunakan untuk memotong kayu dan senapan
untuk mengusir hama seperti seperti babi hutan dan monyet. Begitu juga di
daerah pedalaman lain di Kalbar seperti Kapuas Hulu, Ketapang dan sebagainya.
Oleh karna itu sekali lagi saya ingatkan bahwa untuk lebih netralnya putusan,
majelis harus melibatkan pakar budaya setempat,” imbuhnya.
Penting kiranya direfleksikan dalam kasus ini, bagaimana
seandainya yang berada pada posisi warga yang menjadi korban adalah para
anggota majelis hakim??? Untuk selanjutnya, tentu tindak kriminalisasi terhadap
warga yang memperjuangkan haknya tidak boleh terjadi lagi. Sudah saatnya,
pemerintah melakukan evaluasi terhadap investasi dan mempertegas
keperpihakannya terhadap keselamatan rakyat maupun lingkungan hidup.