Kamis, 03 Desember 2009

DPD SOROTI DISCLAIMER OPINION UNTUK KALBAR


PONTIANAK. Pertemuan antara anggota Komite IV DPD RI dan Muspida Provinsi Kalbar di Kantor Gubernur Kalbar Rabu (02/12/2009), selain membahas strategi percepatan pembangunan kawasan perbatasan “ juga menjadi forum bagi para senator, untuk menyoroti kinerja Pemerintah Daerah selama ini. Salah satunya yakni penilaian Disclaimer opinion oleh BPK RI terhadap laporan keuangan 3 tahun terakhir, yang menimbulkan dampak buruk pada sistem pengelolaan keuangan daerah. Senator asal Kalbar Irma Suryani Ranik` mengatakan “ akibat penilaian negatif BPK RI tersebut, berdampak pada pengurangan bantuan dana hibah dari Pemerintah Pusat. Untuk itu` dirinya menuntut komitmen dari Pemerintah Provinsi Kalbar, segera membenahi sistem pengelolaan keuangan di setiap SKPD, agar hal yang sama tidak terulang di tahun 2010 mendatang.
Menengar hal itu` wakil gubernur Kalbar menyatakan, Pemerintah Provinsi terus berupaya membenahi sitem pengelolaan keuangan daerah, termasuk menambah jumlah tenaga akunting “ melalui formasi Penerimaan CPNS tahun 2009. Namun `dirinya mengakui adanya perbedaan persepsi, menyangkut proses inventarisasi asset dengan BPK, telah menghambat proses pencatatan seluruh asset di daerah.
Disamping itu` Christiandy Sanjaya juga menuntut adanya kesamaan persepsi antara lembaga BPK Pusat, DPD serta KPK, menyangkut penilaian atas laporan pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah. Selain tidak membingungkan “ setiap penyelenggaran pemerintahan juga memiliki rujukan dalam sistem pengelolaan keuangan di daerah masing – masing .

Asset Tidak Tertib Sebabkan Disclaimer Opinion
Kepala Kantor BPK RI Perwakilan Kalbar, Mujiono menjelaskan, “ tidak tertibnya pengelolaan asset merupakan faktor utama, penilaian disclaimer opinion BPK RI terhadap LKPD Pemerintah Provinsi Kalbar 2 tahun belakangan. Namun` hal itu bukan disebabkan belum tuntasnya sertifikasi sebagian asset di daerah, melainkan “nilai asset yang tertera dalam laporan, tidak menjelaskan secara rinci asset tersebut. Dirinya mengatakan, “hal ini menyebabkan tim auditor BPK tidak dapat melakukan cross check, antara asset tetap di neraca dengan asset tetap di setiap SKPD.
Kendati demikian` Mujiono mengakui jika “asset tanpa bukti kepemilikan, masih dominan. Hal ini sering terjadi pada instansi pemerintah yang mengalami pemekaran wilayah, atau perubahan struktur pemerintahan. Pada kondisi ini, proses serah terima asset membutuhkan inventarisasi dan berita acara, yang dapat dijadikan dasar bagi penguasaan asset negara.

Gubernur Tidak Tahu Arah Dana Dekon
Sementara itu` anggota komite IV DPD RI Rosman Johan` mempertanyakan penggunaan dana dekonstrasi dan dana tugas pembantuan departemen, yang disalurkan ke sejumlah daerah. Apakah mekanisme pengelolaan kedua dana dari pusat tersebut, diketahui oleh gubernur Kalbar. Pasalnya` beberapa Menteri di Kabinet Pemerintahan seringkali tidak dapat mempertanggung jawabkan penggunaanya, akibat laporan pengelolaannya belum diserahkan Pemerintah Daerah penerima. Sebab dana dekon dan dana pembantuan, adalah satu dari sekitar lima sumber keuangan yang dialirkan dari pemerintah pusat. Dimana tidak setiap daerah mendapatkan, sehingga harus dimanfaatkan sesuai program masing – masing departemen dan lembaga non departemen yang menyalurkan.
Terkait dana dekon dan dana pembantuan` wakil gubernur Kalbar Christiandy Sanjaya, mengakui jika sebagian besar penyaluran dana tersebut tidak diketahui oleh Kepala Daerah. Umumnya pengelola dana baru memberitahu gubernur, ketika pemanfaatannya menimbulkan masalah.
Christiandy Sanjaya juga mengungkapkan dana dekon dana tugas pembantuan yang disalurkan sering tidak melalui gubernur, namun langsung disalurkan ke Pemerintah Kabupaten Kota. Disamping itu` kedua dana tidak masuk dalam APBD, dan berada dalam kontrol Pemerintah Daerah penerima. Akibatnya sebagian besar tidak terdata dan objek fisik juga tidak diketahui dengan jelas.
Kapal Ikan Hasil Tangkapan Bawa Ke Kalbar
Di bagian lain` Danlanal Pontianak Kolonel Laut (P) Parno menyebutkan, “ puluhan kapal ikan milik nelayan asing, yang disita aparat berwajib, karena terbukti mencuri ikan di perairan Indonesia, seringkali berkahir tanpa kejelasan. Bahkan banyak dari kapal hasil sitaan aparat, baik dari tangkapan TNI AL, polairud maupun Dinas Kelautan dan Perairan – DKP, kemudian menjadi barang rongsokan dan tidak dimanfaatkan. padahal selain hasil pelelangan atas kapal dan isinya, dapat dipergunakan untuk menutupi biaya operasional satuan penjaga wilayah perairan. Menyikapi hal itu` dirinya mengusulkan “pada komite IV DPD RI, “agar kapal hasil sitaan aparat berwajib beserta isinya, dibawa ke Kalbar dan kemudian dipergunakan untuk pengembangan aspek maritim TNI AL. Apalagi persoalan klasik TNI AL, sebagai garda terdepan pengamanan laut nusantara, adalah minimya sarana penunjang dan terbatasnya biaya operasional.
Kolonel Laut (P) Parno menyebutkan “ dalam 2 pekan terakhir, sebanyak 18 unit kapal nelayan asal negara Thailand dan 1 unit Kapal nelayan asal negara Vietnam disita aparat berwajib. Bahkan` akhir bulan lalu “kapal patroli Dinas Kelautan dan Perikanan – DKP, terpaksa menenggelamkan 4 unit kapal nelayan asal negara Vietnam, yang tertangkap basah mencuri ikan di laut natuna. Dirinya mengatakan` selama ini modus operandi pencurian “lazimnya menggunakan 2 unit kapal penggandeng, dan 1 unit kapal pengangkut, yang dilengkapi kebutuhan logistik. Jika dibandingkan dengan kapasitas kapal nelayan tradisional “yang rata – rata 50 ton, sangat jauh dengan kapal milik nelayan asing yang mengangkut 200 ton ikan dalam sekali berlayar.

Ganti Istilah Pulau Terluar
Lebih lanjut Kolonel Laut (P) Parno penggantian istilah pulau terluar “yang dialamatkan pada pula – pulau yang menjadi titik garis pangkal wilayah indonesia” kembali mencuat ke permukaan. Dengan mengganti istilah pulau terluar menjadi pulau terdepan, selain strategis” juga mengisi halaman depan Negara Kesatuan Republik Indonesia – NKRI. Bahkan terminologi “pulau terluar, lebih terkonoptasi daerah pinggiran yang kurang mendapatkan perhatian pemerintah, sehingga membahayakan keutuhan negara kesatuan.
Menyikapi hal itu` AM. Fatwa juga menilai pemakaian istilah pulau terluar, sebagai terminologi daratan bukan kelautan. Apalagi selama ini “ pemerintah pusat memperlakukan pulau – pulau tersebut, sebagai halaman belakang, “ meskipun realitanya berada di bagian terdepan negara










0 comments:

Posting Komentar